KRITIS MENENTUKAN PILIHAN

Sebentar lagi, tepatnya tanggal 14 Februari 2024 kita akan berbondong-bondong ke TPS untuk mencoblos pasangan capres dan cawapres serta calon legislatif dan DPD pilihan kita. Menentukan pilihan itu bukan sesuatu yang mudah. Maka banyak orang lebih senang kalau dipilihkan orang lain, atau ikut saja pilihan orang alias terserah. Kalau toh terpaksa memilih mereka akan bertanya kepada orang lain, sambil melihat pilihan yang paling banyak didukung. Ini terutama terjadi dalam kelompok. Prinsipnya sederhana saja. Kalau menang yah …menang rame-rame. Kalau toh kalah yahh… kalah rame-rame. Inilah mental band wagon alias ikut gerbong paling ramai, yang sering diidentifikasi sebagai kesesatan berpikir atau fallacia. Dan demokrasi kita terkondisikan, kalau tidak mau mengatakan terkontaminasi, oleh mental ini. Tetapi boro-boro dikritisi, mental ini malah terus dikenali, dirawat dan dipelihara, malah didomplengi oleh mereka yang berkuasa dan berkepentingan.

Mental inilah yang sepertinya merupakan salah satu faktor yang mengkondisikan dan menginspirasi lahirnya politik survei pesanan. Pada mulanya survei berfungsi sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran persentase dukungan, guna menentukan kiat dan strategi selanjutnya demi meraup simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya. Sekarang dua langkah itu bisa diringkas hemat menjadi satu langkah tunggal dalam survei. Survei dengan persentase dukungan yang tinggi akan menarik bagi mereka yang bermental :”me too” (aku juga) untuk mendomplengi gerbong yang paling ramai. Dengan demikian hasil survei palsu dengan persentasi dukungan tinggi, akan menjadi benar dengan sendirinya melalui mental band wagon ini. Survei tidak lagi berfungsi untuk membaca kondisi melainkan untuk menciptakan kondisi. Dalam hal ini, dua langkah terpisah itu telah dijalankan dengan sekali merangkuh dayung, yakni efisiensi dan efektivitas .

Kiat seperti ini — kalau tidak mau dikatakan akal bulus — sudah terus menerus terjadi dan terkesan tidak perlu dibenahi karena merupakan kondisi menguntungkan yang bisa terus dimanfaatkan dan dikapitalisasi. Ibarat jalanan rusak dan berlobang yang tidak perlu diperbaiki supaya bisa terus dikapitalisasi pak ogah untuk meminta dana sumbangan dari pengguna jalan.

Sudah disadari bahwa trik-trik seperti ini perlu dihadapi dengan kemampuan berpikir kritis. Ada pun kemampuan ini merupakan syarat dasar bagi terbangunnya demokrasi yang berkualitas Tetapi untuk apa kemampuan berpikir kritis itu dibangun, kalau yang diutamakan dari rakyat adalah sebatas jumlah suaranya. Semboyannya memang keren: “suara rakyat itu suara Tuhan”. Tetapi sayangnya suara Tuhan hanya dilihat dari aspek kuantitas saja sementara kualitasnya diabaikan. Kuantitas suara itu bisa ditemukan lewat lubang kertas hasil coblosan, sementara kualitasnya ditemukan lewat suara-suara profetis kenabian dari mereka yang peduli pada, atau memperhatikan, aspek etisnya. [Etis di sini dipahami dalam konteks etika (moral) bukan etiket (sopan santun. Tata krama). Curang itu bukan sekadar tidak sopan melainkan jahat]. Sepertinya aspek kuantitas inilah yang paling digandrungi para pengumpul suara bersama team suksesnya, dan yang selalu dipelototi para pakar lembaga survei. Hal yang dipikirkan adalah bagaimana mengumpulkan suara sebanyak mungkin demi meraup jumlah lubang pada kertas suara di saat pencoblosan. Sementara berpikir kritis sebagai bagian dari aspek kualitas etis profetis kurang mendapat perhatian. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memperhatikan aspek kualitas dan kuantitas dari suara rakyatnya. Dan suara rakyat itu suara Tuhan adalah ketika kuantitas suara itu sesungguhnya merupakan suara-suara yang berkkualitas.

Dengan demikian ungkapan bahwa demokrasi itu setia kepada kebenaran akan terbukti. Kecurangan, korupsi, nepotisme, kolusi dan sebagainya bisa terjadi dalam demokrasi. Tetapi kesetiaan demokrasi pada kebenaran akan mengurainya. Maka yang perlu dijaga untuk tetap hidup adalah demokrasinya. Negeri ini akan membahayakan dirinya tidak hanya dengan adanya korupsi, melainkan terutama ketika demokrasi dipasung. Plato pernah diisukan sebagai anti demokrasi. Plato bukan anti demokrasi, dia kurang sabar terhadap demokrasi. Dia tak ingin menunggu lama dan ingin segera mendapatkan hasilnya. Demokrasi itu perlu proses. Dan proses itu tidak akan mengkhianati hasilnya. Maka jagalah dan rawatlah demokrasi. Pilihlah pemimpin yang paling demokratis.

TAHUN BARU, PERAYAAN KEHIDUPAN

Kita akan segera menyambut, atau memasuki, tahun baru 2024. Entah disebut “menyambut” atau “memasuki”, sama-sama mengandaikan adanya perubahan atau pergerakan. Kita tetap saja orang yang sama yang terus bergerak dan berubah; dari kecil menjadi besar, tua, jompo dan akhirnya kembali mengkristal dalam kenangan abadi bahwa kita pernah ada, entah diingat, dikenang atau tidak. Mungkin pepatah lama, “Old soldiers never die, they just fade away” boleh dipelesetkan agak nakal menjadi Old soldiers never fade away, they just die. Sekali ada tetap ada.

Perayaan tahun baru sesungguhya adalah perayaan seluruh umat manusia; perayaan kehidupan, perayaan perkembangan, perayaan kenangan, perayaan syukur, perayaan eksistensi, karena pada dasarnya manusia tetap hidup. Kematian itu bukan akhirnya kehidupan melainkan perubahan; bagian dari proses kehidupan. Semua unsur dalam tubuh manusia terurai kembali dalam kehidupan baru. Sekali lahir tetap lahir. Kelahiran itu datang dari kehidupan dan yang namanya hidup itu tidak pernah berakhir. Kehidupan itu diestafetkan lagi tanpa berujung pada kematian. Kehidupan akan benar-benar berakhir ketika seluruh proses kehidupan yang dipelihara oleh bumi berakhir. Itu hanya bisa terjadi oleh ulah manusia yang senang mengutak-atik proses ini untuk kepentingannya sendiri. Satu-satunya makhluk yang bisa mengganggu proses kehidupan di bumi adalah manusia.

Maka perayaan Tahun Baru semestinya adalah perayaan syukur atas proses kehidupan semesta . Kehidupan ini bukan milik pribadi melainkan milik bersama, maka harus dilestarikan secara bersama. Perjumpaan antara manusia adalah perjumpaan yang menghidupkan bukan mengancam. Maka bumi kita merupakan arena untuk sesama, bukannya ancaman atau neraka bagi yang lain, melainkan kasih atau surga bagi sesama. Selamat merayakan Tahun baru 2024. Semoga tahun ini menjadi tahun untuk terus memupuk kehidupan, dan bukannya menghentikannya; tahun untuk berbagi dan membangun kehdupan, dan bukannya tahun untuk memonopoli kehidupan, lantaran dalam kasih kehidupan terus berlangsung, sementara dalam kebencian kehidupan diberangus dan dihentikan.

Selamat tahun baru, Selamat Merayakan Kehidupan

SELAMAT NATAL DALAM SEMARAK DEMOKRASI

Lima tahun lalu, tepatnya di tahun 2018, kita berada pada situasi Natal yang serupa dengan saat ini. Suasana hangat menjelang pemilu mewarnai –kalau tidak mau dikatakan menghantui– Natal di tahun itu. Tercatat kala itu blog ini menyajikan artikel berjudul: “Natal di Tahun Politik”. Kita bersyukur, Natal berjalan aman dan hasil pemilu pun pada akhirnya diterima semua pihak. Tahun ini kita mengalami hal serupa. Natal dan Pemilu.

Natal itu merupakan perayaannya dunia, bukan perayaannya surga; perayaannya manusia bukan perayaannya malaikat. Malaikat itu undangan. Hehehe. Natal adalah selebrasi atas penghargaan dan kasih Tuhan yang tak berhingga kepada manusia. Betapa berartinya manusia bagi Tuhan, betapa cintanya Tuhan pada manusia. Manusia telah diciptakanNya sesuai citraNya, diberiNya mandat sebagai rekan kerjaNya, wakilNya, dan ditempatkan di taman Eden yang penuh kebahagiaan. Untuk memenuhi kondisi kebahagiaan maka manusia di taman Eden pun dilengkapi kondisi kebebasan sebagai kodratnya. Kebahagiaan itu hanya bisa dirasakan dalam ruang kebebasan. Kebahagiaan mengandaikan keputusan, bukan pengkondisian yang serta merta. Tidak ada kebahagiaan tanpa keputusan yang leluasa dalam kondisi yang bebas untuk memilih. Maka diciptakankanlah buah kuldi yang terlarang dikonsumsi, demi membuka ruang kebebasan-memilih bagi manusia. Dengan adanya buah kuldi maka manusia punya pilihan. Tentu saja tidak dimaksudkan bahwa manusia memilih untuk makan buah kuldi, melainkan agar manusia memiliki ruang kebebasan (pilihan). Dengan kata lain, adanya buah kuldi tidak dimaksudkan agar manusia boleh memilih makan buah kuldi melainkan untuk membuka ruang keleluasaan, Bukankah kebahagiaan itu baru dirasakan kalau ada kemungkinan untuk menjadi tidak bahagia?

Ternyata buah kuldi mengecohkan manusia Dia bukannya memilih tinggal di taman Eden, melainkan memilih untuk makan buah terlarang dan keluar dari taman itu. Manusia lalu menjadi tidak bahagia lagi. Seluruh rencana Tuhan untuk membahagiakan manusia terancam gagal. Tentu saja Tuhan tak mungkin gagal. Dia sesungguhnya punya kemampuan untuk mengembalikan manusia ke taman Eden menyekapnya di sana dan menyingkirkan buah kuldi itu. Tetapi sekali lagi, itu berarti Tuhan mencabut kembali kebebasan itu. Tidak. Dia menggunakan cara lain untuk menyelamatkan manusia tanpa menarik kembali kebebasan itu. Dia mengutus para nabi dengan SabdaNya untuk meyakinkan manusia agar kembali. Akhirnya Dia mengutus Sang Sabda itu sendiri dalam wujud manusia untuk memberi teladan kepada manusia bagaimana harus hidup sebagai manusia sejati. Dialah Sabda yang menjadi manusia itu. Dan sang Sabda itu menjalani misinya secara bertanggung jawab, bahkan dengan menyerahkan nyawanya sendiri.

Natal adalah selebrasi kesetiaan Tuhan pada janjinya untuk menyelamatkan dan membahagiakan manusia. Rencana yang tampaknya gagal oleh godaan buah kuldi, tidak menggagalkan rencana Tuhan untuk membahagiakan manusia. Tuhan tetap membuka jalan bagi keselamatan manusia tanpa menarik kembali kebebasan. Dia melakukan itu dengan caraNya sendiri yakni turun ke dunia manusia, memberi teladan kepada manusia dengan cara hidup yang teguh dan berkarakter kasih, sarat dengan damai dan kelemah-lembutan, bukan dengan keangkuhan, keberingasan dan kekerasan hati. Dia menjadi pemimpin di tengah kelompok manusia yang paling tak berdaya, yang terpinggirkan, miskin, terhina dan dianggap najis dan terkutuk. Dia memperkenalkan konsep pemimpin pelayan, bukan penguasa. Pemimpin yang berpihak pada kelompok marginal, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka sebagia manusia.

Pada hakikatnya Natal adalah promulgasi kelahiran pemimpin yang menghargai martabat manusia; pemimpin yang menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia, dengan konsentrasi pada mereka yang termarginalisasi dalam segala aspek kehidupan. Dibutuhkan di sini pemimpin yang inspiratif dan berkarakter. Inilah rencana karya penyelamatanNya. Natal adalah bagian dari rencana keselamatan itu.

Karena itu Natal bisa menjadi inspirasi bagi kita yang sedang mencari pemimpin. Natal mengggugah lahirnya pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang menguasai (adminstrator bukan sekadar government), pemimpin yang adil dan teguh dalam prinsip tetapi manusiawi serta beradab dalam sikap dan perilaku, pemimpin yang peduli pada kepentingan rakyat dan bukan pada kepentingan kekuasaan diri, rezim, keluarga dan kroni; pemimpin yang inspiratif membuka wawasan rakyatnya, dan bukan pemimpin yang manipulatif, dan memanfaatkan rakyat untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya. Pemimpin yang demokratis dan bukan pemimpin yang otoriter.

Selamat Natal Dalam Semarak Demokrasi.

MENGACAUKAN POSISI SUBJEK

Hari ini 7 Agustus 2023 Kompas.com memuat salah satu berita dengan judul Ganggu Ketertiban, Polres Tangerang Tertibkan Bus Klakson Telolet (Kompas.com – 07/08/2023, 06:42 WIB). https://otomotif.kompas.com/read/2023/08/07/064200215/ganggu-ketertiban-polres-tangerang-tertibkan-bus-klakson-telolet

Rumusan tekstual judul berita ini menyuguhkan pengertian bahwa Polres Tangerang telah mengganggu ketertiban dengan menertibkan klakson bus telolet. Setelah membaca isi berita ini, baru pembaca dapat memahami bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bahwa bus yang berklakson telolet itu telah mengganggu ketertiban, maka bus itu ditertibkan oleh Polres Tangerang. Tetapi apakah judul ini mengatakan apa yang dimaksudkan? Subjek kalimat ini adalah Polres Tangerang, predikatnya adalah ganggu ketertiban maka bus berklakson telolet ditertibkan. Tetapi apakah judul di atas mengatakan apa yang dimaksudkan?

Kita simak kembali judul berita ini: “Ganggu Ketertiban, Polres Tangerang Tertibkan Bus Klakson Telolet”. Teks berita ini menunjukkan bahwa yang mengganggu ketertiban adalah Polres Tangerang, yang menertibkan bus berklakson telolet. Padahal yang mengganggu ketertiban adalah bus berklakson telolet. Maka akan lebih jelas kalau judul beritanya dimodifikasi menjadi: “Ganggu Ketertiban, Bus Berklakson Telolet Ditertibkan Polres Tangerang”. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang mengganggu ketertiban adalah bus berklakson telolet. Subjek kalimat ini (yang mengganggu ketertiban) adalah: “bus berklakson telolet”, bukan “Polres Tangerang”.

Sikap kurang tertib dalam berpikir dan berbahasa model ini sering disebut sebagai “mengacaukan posisi subjek”. Subjek dalam kalimat menjadi tidak jelas. Struktur bahasa seperti ini sering muncul dan tidak tertutup kemungkinan bahwa lama kelamaan praktik ini akan dianggap biasa lalu dibenarkan. Kesalahan yang dibiasakan akan diam-diam dibenarkan. Karena itu ajakan untuk “membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa” menjadi penting.

Di bulan Mei 2022 yang lalu, gubernur Bali diberitakan sempat marah dan mendeportasi turis asal Rusia yang berfoto bugil di tempat suci. Muncul berita di situs online dengan judul: Foto Bugil di Tempat Suci, Gubernur Bali Deportasi Wanita asal Rusia (https://fajar.co.id/2022/05/07/foto-bugil-di-tempat-suci-gubernur-bali-deportasi-wanita-asal-rusia) Pengertian tekstual dari judul berita ini sesungguhnya bahwa yang berfoto bugil adalah gubernur Bali, yang kemudian mendeportasi wanita asal Rusia (tidak diketahui salahnya apa?). Rumusannya perlu dimodifikasi menjadi: Foto Bugil di Tempat Suci, Wanita Asal Rusia Dideportasi Gubernur Bali. Subyek yang berfoto bugil adalah wanita asal Rusia, bukan gubernur Bali.

Tertib berpikir, tertib berbahasa.

PASKAH: KEBANGKITAN KEBERADABAN

Ketika Nietzsche mengatakan Tuhan sudah mati, kaum beragama terkejut. Pasalnya Nietzsche dianggap menghina Tuhan dan mendiskreditkan agama. Dia mengeritik agama sebagai tuan yang memperbudak umatnya. Manusia tidak diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengembangkan nafsu-nafsunya.

Bahwa manusia perlu diberi ruang untuk mewujudkan kebebasannya itu ada benarnya. Tetapi apakah kebebasan untuk melampiaskan nafsunya masih termasuk wilayah kebebasan manusia? Apakah itu bukan keliaran? Kebebasan perlu dibedakan dari keliaran, Kebebasan manusia itu berkaitan dengan upaya untuk memaksimalkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang beradab tanpa diperbudak oleh nafsunya. Sementara keliaran itu hanya ditunggangi oleh nafsu. Bukankah kebebasan itu berasal dari Tuhan? Buah kuldi yang diciptakan Tuhan di taman Eden, tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan manusia, melainkan untuk membuka peluang bagi manusia menjadi bebas dalam mengambil keputusannya sendiri. Artinya keputusan untuk tidak makan buah kuldi itu adalah keputusan bebas yang tidak dikondisikan. Manusia tidak boleh, bukan tidak bisa, memakan buah kuldi itu. Artinya keputusannya untuk tidak memakan buah kuldi itu adalah keputusan bebas yang tidak dikondisikan.

Manusia perlu didorong untuk belajar mandiri dan menjadi bebas dan dewasa dalam mengambil keputusan untuk membangun hidupnya, dan tidak sedikit-sedikit mengadu ke Tuhan. Berhadapan dengan Tuhan, manusia sendiri sering bersikap layaknya anak kecil yang belum atau tak pernah menjadi dewasa. Cenderung cengeng dan manja. Maka seruan kematian Tuhan bukan untuk meniadakan Tuhan melainkan untuk mengggerus sikap manusia yang terlalu kekanak-kanakan berhadapan dengan Tuhan. Manusia tidak sadar bahwa dirinya telah diperlengkapi Tuhan dengan berbagai macam daya dan kemampuan untuk mengarungi lautan kehidupan ini. Otak yang cerdas, otot yang kuat, syaraf-syaraf yang njleimet namun rapi terstruktur, daya tahan tubuh yang prima, kemauan dan kehendak yang kuat, mental yang tangguh, kebersamaan sebagai manusia yang cerdas dan jauh lebih unggul dari makhluk lain, adalah kekuatan-kekuatan potensial yang bisa dikembangkan dan diaktualisasikan dalam diri manusia. Tetapi manusia sering tidak berkehendak mengembangkan seluruh daya dan kemampuan ini secara maksimal. Bahkan modal sosial pun tidak secara sungguh-sungguh dikembangkan. Manusia yang tidak berkehendak membangun relasi yang baik dengan sesamanya, malah cenderung membangun rasa benci, iri, serta dengki satu sama lain. Sikap saling menginjak, menggergaji, dan menjatuhkan demi memamerkan siapa lebih unggul, sering ditampilkan. Tidak heran, ketika manusia mengalami kesulitan, bukan sesamanya yang dimintai tolong melainkan Tuhan langsung. Sesama yang dihadirkan Tuhan untuk saling membantu tidak bisa diandalkan lagi karena relasi sudah terputus. Bahkan Tuhan didaulat agar mengutuk dan melaknati sesamanya yang dibencinya, entah karena beda etnisnya, beda budayanya, agamanya, keyakinannya, ideologinya, aliran politiknya, nasibnya, sambil berupaya meyakinkan Tuhan bahwa orang yang dibenci itu adalah musuh Tuhan juga. Karenanya pantas dan layak untuk dilaknat.

Pada hal Tuhan mencintai manusia dan menginginkan manusia selamat dengan saling mencintai dan bekerja sama membangun hidup ini agar menjadi lebih nyaman dan penuh kedamaian. Maka kunci membangun hidup ini bukan rasa saling membenci, memusuhi, merendahkan dan melaknati melainkan saling mengasihi, berbagi, dan saling mendukung dengan upaya membangun relasi yang baik satu sama lain agar persoalan hidup bisa diatasi secara bersama-sama. Sesungguhnya bukan kelaparan dan kemiskinan yang membuat manusia menderita melainkan sikap benci dan saling meniadakan. Maka hal penting untuk membangun kehidupan adalah saling peduli. Masalah utama bagi persoalan hidup manusia adalah kurangnya rasa belas kasih dan kepedulian. Menurut Amartya Sen kelaparan dan penderitaan di dunia ini tidak disebabkan karena kurangnya makanan melainkan karena tidak adanya distribusi yang baik. Ada wilayah yang berkelimpahan makanan , sementara wilayah lain serba kekurangan, dan menderita kelaparan.

Maka kewajiban beragama hendaknya tidak hanya berhenti pada batas ritual saja melainkan juga bermuara pada pada aspek amal dan sosial. Ibadah-ibadah hendaknya tidak hanya beraroma ritual melainkan juga sosial, Kekusyukan kita bertelut menyembah Tuhan tidak boleh membuat mata kita tertutup terhadap sesama kita yang berkekurangan; tidak sekadar lantang melantunkan ayat-ayat suci, tetapi juga tidak lupa membangun adab.

Selama tiga hari terakhir ini orang Katolik merayakan Tri Hari Suci, mulai dari mengenang kematian Yesus sampai pada merayakan kebangkitanNya di Hari Raya Paskah. Rangkaian perayaan ini hendaknya tidak hanya berhenti pada ritual kebangkitan Yesus saja, Paskah harus menjadi juga perayaan kebangkitan sosial, kebangkitan keberadaban manusia. Keberadaban tidak bisa dihentikan oleh kebiadaban, karena dalam keberadaban ada kehidupan. Batu kubur kebiadaban telah digulingkan oleh daya kekuatan keberadaban Paskah yang hidup. Mari membangun keberadaban. Selamat Paskah. Selamat merayakan kebangkitan keberadaban.

Benyamin Molan

SELAMAT NATAL ORANG BEBAS

Pengimanan kepada Yesus sebagai Tuhan sering dianggap berefek pada reduksi terhadap keutuhan kemanusiaanNya. Padahal KeTuhanan Yesus tidak mengurangi sedikit pun kemanusiaan pada diriNya. Sejak kelahiranNya di dunia, Dia sudah langsung mengalami kesulitan sebagai manusia; ditolak di semua tempat penginapan manusia, dan menemukan kandang ternak tak layak huni sebagai tempat penginapanNya. Di sana Dia dilahirkan dan dibaringkan di palungan, ditemani para gembala miskin dan domba-domba yang ceriah. Dia kemudian disowan para cendekiawan majus beradab dari negeri Timur dengan bintang sebagai panduannya, tetapi ironisnya diancam pancung penguasa biadab di negeri sendiri dengan mengacungkan pedang sebagai panduannya. Ancaman terhadap keselamatan diriNya membuat Dia pun menapak tilas jejak leluhurNya ke tanah Mesir, untuk kemudian kembali ke Tanah Terjanji, dan menyepi dalam kesunyian di kota kecil Nazareth. Di sanalah Dia dibesarkan sebagai anak tukang kayu.

Setelah tiba waktunya, di usia 30 tahun, Dia tampil ke publik. Hanya selama 3 tahun Dia efektif berkarya, mewartakan Kerajaan Allah; Kerajaan yang tak berbatas wilayah tetapi melintasi batas, menyerapi setiap hati manusia yang luas dan lapang, sarat kasih dan pengampunan; Kerajaan yang mewartakan damai di bumi dan kemuliaan di surga, dan bukan sebaliknya, kemuliaan di bumi dan damai di surga.

Reformasi besar dilakukannya terhadap praktik-praktik keagamaan di zamanNya, yang sangat formalistis, dan sarat kemunafikan. Dia memperkenalkan sang Yahwe yang Mahabesar itu sebagai Bapa, yang sangat peduli, dan penuh perhatian pada keselamatan manusia; bukan Allah yang kejam dan menakutkan, yang gemar mengancam dan menghukum, melainkan Allah yang maha rahim dan berbelas kasih.

Dia mengecam lugas sikap para pemuka agama yang angkuh dan sok suci, yang tak segan memanfaatkan posisi dan profesinya untuk kepentingan dirinya sendiri, memeras para pendosa dan merampas hak kaum miskin. Dia pada akhirnya harus memilih di antara dua alternatif simalakamis: menarik ajaranNya atau kehilangan nyawaNya. Alih-alih menarik ajaranNya, Dia justru memilih alternatif yang bermartabat, menyerahkan nyawaNya sendiri demi tegaknya kebenaran. BagiNya kebenaran tidak mengenal jalan mundur. Kebenaran itu teguh dan selalu beradab, fortiter in re, suaviter in modo. Kesetiaan pada kebenaran itulah yang membuat Dia harus konsisten mengakhiri hidupNya dalam penderitaan paling dahsyat dan ditakuti manusia, Dia dianiaya, disiksa secara kejam, dan mati secara naas di atas kayu palang. Tetapi itu tidak membuat Dia terkubur selamanya. Tiga hari berselang Dia terbebaskan dari cengeraman dunia lelayu, tempat bagi semua yang gugur dan layu tak lagi mengembang. Dari ketakberdayaan ini Dia menyatakan bahwa energi kasih sesungguhnya tak terbendung, daya kebenaran tak bisa dibelenggu. Kebangkitan mulia telah menghentakkan semangat dan mengembalikan harapan.

Jangan takut! Itu selalu menjadi pesanNya kepada para muridNya. Senjata pamungkasNya adalah kasih dan pengampunan. Senjata ini punya daya dan energi yang jauh lebih dahsyat ketimbang sejuta pedang dan seribu kekuasaan; dia mampu meluluhkan hati yang keras, mencairkan nurani yang beku, menyingkirkan unclean spirit yang merasuki hati yang sarat kebencian, menghentikan dendam kesumat yang bergelung tak berujung mencapai lapisan tujuh turunan. Dan, hanya kasih dan pengampunanlah yang mampu menghentikan gelungan kesumat itu.

Karena itu Dia menolak prinsip gigi ganti gigi, mata ganti mata. Janganlah menjadi orang yang dikuasai roh dendam dan kebencian; jadilah orang yang mampu memutus mata rantai itu. Jadilah orang bebas, yang mampu mengatur tindakannya sendiri berdasarkan prinsip tanggung jawab, berpatok pada akal sehat kemanusiaan yang sudah dianugerahkan kepada setiap manusia. Orang bebas adalah orang berkarakter; orang yang punya prinsip sendiri dan tidak mudah diutak atik, dipreteli dan dijadikan pion oleh para pemabok; entah pemabok agama, pemabok kuasa, harta, bidadari, atau pemabok dalil.

“Ketika seseorang menampar pipi kananmu, serahkan juga pipi kirimu”. Ini bukan gambaran sikap pengecut tak bernyali, melainkan sikap pemberani yang siap melantunkan nada-nada kebebasan. Bukankah ketika aku ditampar tindakan wajar reaktifku adalah membalas tamparan itu? Tetapi bukankah ketika membalas tamparan itu, aku berada di bawa kendali dan garis komando dia yang menampar aku? Bukankah itu berarti bahwa aku bukanlah orang bebas? Tidakkah sesungguhnya aku sedang dikondisikan dalam gelungan rantai dendam untuk menjadi orang tak bebas? Sebagai orang bebas, aku tak ingin berada di bawah kuasa dan garis komando si penamparku. Aku tak mau diatur oleh ketidak-beradaban. Aku harus mengatur dan menentukan sikap serta tindakanku sendiri. Dan dengan menyerahkan lagi pipi kiriku, kutunjukkan bahwa tindakanku berada di bawah kuasaku sendiri, bukan pada kuasa si penampar. Ini aksiku, aksi orang bebas, orang beradab, aktif mengendalikan, dan bukan reaktif dikendalikan. Aksi adalah tanda kebebasan, reaksi adalah tanda keterbelengguan. Prinsip “Anda jual saya beli”, sesungguhnya mengindkasikan bahwa si pembeli berada di bawah kuasa si penjual. Dia dikondisikan untuk membeli. Bukankan itu tanda ketidak-bebasan?

Natal adalah kelahiran manusia bebas sebagaimana dikehendaki Tuhan, bukan manusia pendendam yang merecoki kebahagiaan dan kedamaian hidup manusia. Slamat Natal saudaraku semua, Slamat menjadi manusia bebas. Natal adalah selebrasi orang bebas, tidak dipaksa, tidak juga dilarang. Tetapi sekali lagi… bebas …, bukan liar. Bebas itu keren, liar itu serem. Jadilah keren tanpa perlu menjadi serem.

Benyamin Molan

SEMATI TAK SEHIDUP

Sewaktu kecil, kakek suka mendongengi kami sebelum tidur. Sebuah dongeng yang populer di kalangan teman-teman masa kecil di kampungku adalah dongeng tentang si Tokek dan si Tikus. Lebih asyik kalau dongeng ini diceritakan kakek dalam bahasa daerahku (Kedang) yang diselaraskan dengan dialek tikus dan tokek.

Pada suatu hari si Tikus dan si Tokek yang bersahabat, sepakat untuk pergi memancing. Mereka menggunakan paruhan kulit semangka sebagai perahu mereka. Si Tokek, memiliki lengan dan kaki yang kuat menempel. Dia mendapat tugas untuk mendayung dan memancing; sementara si Tikus bertugas untuk menggayung dan menguras keluar air, yang sesewaktu masuk ke dalam perahu mereka yang tak hentinya terhempas gelombang.

Dengan kondisi laut yang kaya akan ikan, mereka tidak sulit mendapatkan ikan. Ketika ikan pertama tertangkap, si tikus mencongkel mata ikan itu dan memakannya. Si Tokek menggerutu. Ketika tikus melakukan lagi hal yang sama pada ikan kedua yang tertangkap, si Tokek mulai marah dan mengancam akan menghempaskan si Tikus ke laut, jika dia mengulangi perbuatannya. Tetapi si Tikus tampak tidak peduli. Ketika ikan ketiga tertangkap, si Tikus masih saja melakukan hal yang sama. Kedua mata ikan itu dicungkilnya lagi dan dimakannya.

Si Tokek pun naik pitam dan tak mampu mengendalikan emosinya. Dengan sekali mengayunkan pendayung, dia berhasil menghempaskan sahabatnya itu ke dalam laut. Si Tikus pun berupaya untuk naik kembali ke perahu, tetapi Tokek terus menghalanginya. SiTikus pun bertambah marah dan kesal. Dia pun menggunakan giginya yang tajam untuk mengerat dan membocorkan perahu yang terbuat dari kulit semangka itu. Perahu pun kemasukan air dan kemudian tenggelam. Dan apa yang terjadi? Si Tikus dan si Tokek tak mampu menyelamatkan diri. Keduanya pada akhirnya tenggelam dan mati bersama-sama, karena tidak mampu hidup bersama.

ETIKA EMOTIF: MEMBUKA RUANG MENGKRITISI PENILAIAN MORAL

Benyamin Molan

ABSTRAK: Etika emotif yang diprakarsai Alfred Jules Ayer, menyatakan bahwa penilaian moral menyangkut baik atau buruknya suatu perbuatan atau tindakan, sesungguhnya tidak memiliki makna faktual, karena hanya mengandung pernyataan intuitif sintetis yang tidak bisa diverifikasi secara empiris. Pada hakikatnya penilaian moral adalah ungkapan perasaan yang tidak bisa dikaitkan dengan baik dan buruk, benar dan salah. Karenanya penilaian moral tidak dapat diperdebatkan. Etika emotif pernah meramaikan diskursus tentang dasar-dasar penilaian moral. Walaupun pandangan ini sendiri tidak tahan uji, tetapi perannya dalam diskursus etika sangat berarti lantaran telah berkontribusi membuka ruang bagi terbangunnya sikap kritis dalam menguji pernyataan dan penilaian moral.

KATA KUNCI: Etika emotif, perasaan, penilaian moral, analitis, sintetis, verifikasi, ekspresi, fakta

ABSRATCT: Emotive ethics, which was initiated by Alfred Jules Ayer, states that moral judgments regarding the good or bad of an action actually have no factual meaning, because they only contain synthetic intuitive statements that cannot be verified empirically. In fact, moral judgments are expressions of feelings that cannot be attributed to good or bad, right or wrong. Therefore the moral judgment cannot be disputed. Emotivistic ethics has been widely discussed regarding the basics of moral judgment. Although this view itself has received a lot of resistance, its role in ethical discourse is very significant in opening up space for the development of a critical attitude in testing moral statements and judgments.

KEY WORDS: emotive ethics, feelings, moral judgment, analytical, synthetic, verification, expression, fact.

1. PENDAHULUAN

Penilaian moral menyangkut baik dan buruknya suatu perbuatan adalah masalah klasik yang sudah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Sekurang-kurangnya Socrates, filsuf Yunani terkemuka zaman itu sudah mengajukan pertanyaan kritis dalam dialognya dengan Euthypro yang dilaporkan Plato. Socrates mempertanyakan, soal baik dan buruknya suatu perbuatan itu sesungguhnya ditentukan oleh siapa atau berdasarkan apa. Apakah satu perbuatan itu dinilai baik, karena diperintahkan oleh para dewa, atau satu perbuatan itu dinilai baik, maka diperintahkan oleh para dewa.

Diskursus tentang penilaian moral terus berlanjut dalam berbagai teori etika sepanjang sejarah. Semuanya terlibat dalam upaya menemukan prinsip-prinsip penilaian moral demi mengidentifikasi mana sikap dan perilaku yang baik dan mana yang buruk. Sekurang-kurangnya ada dua pandangan yang menjadi landasan bagi berbagai teori etika: (1) Teori moral Konsekuensialis yang penilaian moralnya didasarkan pada konsekuensi dari tindakan. Di dalamnya ada Egoisme Etis (Hedonisme, Eudaimonisme) dan ada Utilitarianisme. (2) Teori Moral Nonkonsekuensialis yang menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan atas dasar perintah ilahi (teori Perintah Ilahi) dan atas dasar kewajiban (Deontologi).i

Etika emotif muncul dengan pemikiran kritis yang tidak hanya mempertanyakan soal baik atau buruk melainkan apakah orang bisa memberikan penilaian pada tindakan manusia? Menurut pemikiran ini, penilaian moral yang berada di wilayah nilai (values) tidak bisa dikenakan pada perbuatan yang berada di wilayah fakta (facts). Penilaian moral yang tidak dapat diverifikasi secara empiris tidak dapat juga dikenakan pada perilaku yang dapat diverifikasi. Penilaian moral tak lebih dari ungkapan perasaan seseorang yang tidak bisa dinilai sebagai benar atau salah. Dan karena itu pula tidak dapat dibantah atau dibenarkan. Penilaian moral sesungguhnya tidak ada.

Kalau tidak ada penilaian moral, bagaimana dengan prinsip-prinsip moral yang menjadi landasan bagi penilaian moral? Apakah orang masih perlu melakukan perdebatan moral untuk sampai pada prinsip-prinsip yang dapat dianut untuk menilai benar salahnya suatu sikap atau tindakan moral? Bagaimana pendapat teori moral, misalnya dari George Edward Moore dan Max Scheler, bahwa nilai-nilai moral itu langsung dilihat dan ditemukan secara intuitif dan bukan secara inderawi?ii Berbicara mengenai prinsip verifikasi, apakah hanya ada verifikasi empiris inderawi, tanpa ada verifikasi intuitif atau intelektual? Menurut etika emotif, penilaian moral tentang baik buruk, benar salahnya suatu perbuatan, tindakan, atau perilaku, ternyata tidak bermakna. Tidak heran kalau pandangan etika emotif telah menggerakkan diskusi besar menyangkut penilaian moral. Dengan merujuk dan berkaca pada etika emotif, kita dapat juga merefleksikan penilaian moral yang kita anut. Sekurang-kurangnya mempertanyakan sikap dan penilaian moral kita terutama menyangkut ciri yang sangat khas pada etika sebagai refleksi kritis terhadap ajaran moral.

2. MENUJU ETIKA EMOTIF

Tidak ada konsep pemikiran filosofis yang turun langsung dari langit. Semuanya berkonteks. Sebagaimana biasanya, ide dan pemikiran filosofis akan terus bermunculan dan berkembang secara bertahap. Mula-mula, ide itu dikembangkan secara sederhana, mentah, kasar, berantakan dan kurang tertata. Banyak orang akan tertarik dengan ide itu hanya karena alasan tertentu. Tetapi selanjutnya ide tersebut akan dikritisi, dan kalau ditemukan kelemahan serius di dalamnya maka akan ditinggalkan. Akan tetapi, ada pihak lain yang malahan terus tertarik dengan ide dasar itu, dan berupaya mendalaminya—memberinya formulasi baru—sehingga tampil kokoh menghadapi berbagai pengujian kritis. Sampai suatu saat teori itu pun terlihat aman. Tetapi argumen-argumen baru bisa saja dilancarkan dan muncul lagi keraguan terhadap teori versi baru tersebut. Tentu ada lagi yang mengabaikan ide itu, tetapi ada juga yang tetap berupaya menyelamatkannya dengan terus membuat revisi. Proses ini terjadi juga pada etika emotif. Pada bagian berikut ini, akan ditelusuri berbagai pemikiran filosofis yang mengitarinya.iii

2.1. Subjektivisme Etis

Teori tentang Subjektivisme Etis telah diawali dengan ide sederhana, sebagaimana diungkapkan David Hume, bahwa moralitas adalah masalah sentimen, bukannya fakta. Tetapi ketika keberatan dikemukakan terhadap teori itu, para pembelanya berusaha merespon keberatan tersebut. Teori pun berkembang menjadi jauh lebih berbobot.
Penilaian moral yang diserahkan pada masing-masing subjek, sudah secara umum dikenal sebagai subjektivisme etis. Setiap orang adalah subjek moral yang menganut penilaian moral sendiri. Tidak ada satu penilaian objektif pun yang berlaku bagi semua pihak dan dijadikan patokan bagi semua penilaian moral. Nilai moral yang benar dan baik bagi seseorang belum tentu menjadi baik dan benar bagi orang lain. Misalnya, orientasi seksual homoseks dan heteroseks, adalah fakta. Tetapi bahwa heteroseks dianggap baik dan homoseks itu buruk, sesungguhnya bukan fakta, melainkan sikap. Orang sekadar mengatakan sesuatu menyangkut perasaannya terhadap homoseksualitas; ada rasa jijik, muak, geli, benci, nyinyir.
Jelas bahwa subjektivisme etis bukan sebuah teori tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Ia tidak sedang berupaya menginformasikan tentang bagaimana seharusnya kita hidup atau opini moral apa yang harus kita anut. Ia hanya mengekspresikan perasaan personal dan menyetujuinya. Namun sikap apa pun yang kita pilih, tidak akan bisa memastikan bahwa pilihan kita itu menggambarkan “kebenaran” bagi semua pihak. Mereka akan mengakui bahwa pandangan mereka itu adalah pandangan personal.


2.2. Subjektivisme Sederhana (Simple-Subjectivism)iv

Versi paling sederhana dari teori ini adalah ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu secara moral baik atau buruk, hanya atas dasar dia menyetujuinya atau tidak menyetujuinya. Dua keberatan dikemukakan di sini. Pertama, bahwa kadang-kadang kita bisa salah dalam mengevaluasi. Dan kalau ternyata salah, bisa saja kita ingin memperbaikinya. Ketika kita menemukan bahwa kita salah, terbuka kemungkinan bahwa kita ingin mengubah penilaian kita. Tetapi jika subjektivisme sederhana benar, jelas tidak mungkin kita mengubah—karena subjektivisme sederhana menyatakan bahwa setiap kita itu tidak bisa salah. Kembali kita pertimbangkan pernyataan seseorang bahwa homoseksualitas itu immoral. Menurut subjektivisme sederhana, apa yang dikatakan orang itu adalah bahwa dia, tidak menyetujui homoseksualitas. Tentu saja mungkin bahwa dia tidak berbicara jujur—mungkin sesungguhnya dia tidak benar-benar tak menyetujui homoseksualitas. Dia hanya berpura-pura saja pada audiensnya yang konservatif. Tetapi jika kita mengandaikan dia berbicara jujur, tentu saja dia mengatakan yang benar. Sepanjang dia jujur menggambarkan perasaannya, dia tidak dapat salah. Tetapi persoalannya adalah bagaimana bisa dipastikan bahwa orang itu berbicara jujur, walaupun sesungguhnya dia berbicara jujur.
Dengan demikian argumen silogisme hipotetis berikut ini bisa ditampilkan untuk melawan subjektivisme sederhana: Jika subjektivisme sederhana benar, maka setiap kita itu tak bisa salah (infallible) dalam penilaian moral kita, sekurang-kurangnya sepanjang kita berbicara jujur. Akan tetapi, ternyata kita tidak selalu tak bisa salah (infallible). Kita bisa saja sesat atau salah, bahkan ketika kita berkata jujur. Oleh karena itu, subjektivisme sederhana tidak dapat dibenarkan.
Argumen kedua melawan subjektivisme sederhana didasarkan pada pandangan bahwa teori ini tidak bertanggung jawab terhadap fakta ketidak-sepakatan dalam etika. Rachelsv mengambil kisah tentang Dan Bradley, mantan direktur dari the United States Legal Services Administration. Bradley mengundurkan diri, lalu keluar dari persembunyiannya, tampil terbuka di depan publik, dan mengakui homoseksualitasnya. (Dia adalah seorang pejabat tinggi, karena itu deklarasinya pun dipublikasikan secara luas). Bradley menegaskan bahwa homoseksualitas itu tidak immoral. Di pihak lain ada Falwell seorang pengkhotbah, yang tidak sepakat, dan berpendapat bahwa homoseksualitas itu immoral. Tetapi perhatikan apa pandangan subjektivisme sederhana menyangkut situasi ini.
Bradley mengatakan bahwa homoseksualitas itu tidak immoral, dia hanya membuat satu pernyataan tentang sikap (attitude)—dia mengatakan bahwa dia, Bradley, tidak menolak homoseksualitas. Apakah Falwell tidak sepakat dengan itu? Tidak, Falwell sepakat bahwa Bradley tidak menolak homoseksualitas. Pada saat yang sama, ketika Falwell mengatakan bahwa homoseksualitas itu immoral, dia hanya mengatakan bahwa dia, Falwell, menolak homoseksualitas. Mengapa Bradley harus menolak itu? Berdasarkan faktanya, Bradley tentu saja mengakui bahwa Falwell menolak homoseksualitas. Dengan demikian menurut subjektivisme sederhana, tak ada ketidak-sepakatan antara mereka—masing-masing akan mengakui kebenaran dari apa yang dikatakan oleh pihak yang lain. Bagaimana pun juga, tak bisa disangkal bahwa Falwell dan Bradley justru tidak-sepakat tentang apakah homoseksualitas itu immoral. Keduanya jelas sangat bertolak-belakang satu sama lain. Ketika seseorang mengatakan “homoseksualitas secara moral dapat diterima” dan yang lainnya mengatakan “homoseksualitas secara moral tidak dapat diterima”, mereka tidak sepakat.

Argumen-argumen ini, dan argumen serupa lainnya, menunjukkan bahwa subjektivisme sederhana adalah sebuah teori yang cacat: tidak dapat dipertahankan, sekurang-kurangnya tidak dalam bentuk yang mentah dan kasar seperti itu. Beberapa pemikir telah memilih untuk menolak keseluruhan ide tentang subjektivisme etis. Akan tetapi, ada juga pihak lain yang terus berupaya untuk mendapatkan versi yang lebih baik dari teori itu, sebuah teori yang tahan uji atau tidak rentan terhadap keberatan-keberatan ini. Akan teramati nantinya bagaimana etika emotif mengembangkan konsep ini. Menurut etika emotif, tidak ada ketidak-sepakatan karena memang tidak ada perbedaan pendapat atau pun perdebatan. Penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan. Dan soal perasaan tidak bisa diperdebatkan.

2.3. Filsafat Analitik dan Positivisme Logis

Filsafat Analitik adalah sebuah konsep pemikiran berhadapan dengan filsafat zamannya yang sangat condong ke idealisme metafisis sebagaimana dikembangkan oleh Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger, dan lain-lain. Filsafat Analitik muncul terutama di wilayah berbahasa Inggris dan Skandinavia dengan para tokohnya antara lain Gottlob Frege, George Edward Moore, Bertrand Russel, dan Ludwig Wittgenstein. Nama terakhir ini telah menerbitkan buku yang sangat berpengaruh berjudul ”Tractatus Logico-philosophicus”. Buku ini merupakan bagian dari upaya menguraikan masalah-masalah filsafat melalui analisis bahasa.
Menurut pandangan filsafat analitis banyak persoalan dalam filsafat dianggap berasal dari penggunaan bahasa yang kacau, keliru dan tidak logis. Maka dirasa perlu untuk memecahkan, menguraikan (analisis), dan menyiangi pernyataan bermakna dari yang tidak bermakna. Pernyataan bermakna adalah pernyataan yang faktual dan dapat diidentifikasi secara inderawi dan empiris. Filsafat mengalami banyak persoalan karena berkecimpung di arena yang tidak teridentifikasi secara empiris dan faktual. Filsafat seharusnya hanya berkecimpung dalam wacana dan pernyataan-pernyataan yang bermakna. Sementara tentang pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna orang harus diam. Dan pernyataan bermakna itu teridentifikasi ketika kita menggambarkan sesuatu yang dapat diverifikasi secara empiris. Itu berarti bahwa filsafat harus “diam” terhadap dunia metafisika dan etika. Dengan begitu filsafat bisa berperan sebagai terapi bagi cara berpikir yang kurang sehat, dan menghilangkan berbagai masalah dalam dirinya sendiri.vi

Pemikiran filsafat analitis ini kemudian berkembang lebih lanjut dalam kelompok Lingkaran Wiena yang dikenal sebagai positivisme logis. Menurut mereka filsafat seharusnya hanya bergerak di bidang yang bermakna, dan meninggalkan bidang yang tidak bermakna. Untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan bermakna dan tidak bermakna, kita perlu masuk ke dalam arena pemikiran logika. Bagi positivisme logis logika adalah bagian utama dari filsafat.
Dalam logika kita mengenal adanya putusan, sebagai kegiatan mental yang kemudian diverbalisasikan dalam proposisi, dan diklasifikasi menjadi putusan analitis dan putusan sintetis. Putusan analitis selalu bersifat tautologis, di mana predikat hanyalah pernyataan lain dari subyek, Karenanya putusan analitis tak perlu diverifikasi lagi. Misalnya “lingkaran itu bulat” merupakan putusan analitis yang tidak perlu diverifikasi lagi. Lingkaran (subjek) dan bulat (predikat) itu sesungguhnya sama. Begitu juga dalam dunia matematika: 2 + 2 = 4. Tidak perlu diverifikasi, karena 4 itu sebenarnya sama persis dengan dua tambah dua. Tetapi ada juga putusan yang disebut sintetis, yang perlu diverifikasi. Misalnya: pernyataan bahwa “suhu udara di Jakarta panas”, perlu diverifikasi dengan bukti-bukti empiris yang membenarkan bahwa suhu udara di Jakarta memang panas.
Bagaimana dengan pernyataan bahwa “mencuri itu buruk”. Proposisi ini termasuk proposisi sintetis yang harus diverifikasi secara empiris. Karena “buruk” itu bukan merupakan properti yang melekat pada perbuatan mencuri, maka tidak bisa diverifikasi secara empiris. Karenanya putusan ini tidak bermakna, tidak menambah apa pun pada perbuatan mencuri.

3. ETIKA EMOTIF AYER

Etika Emotif, diprakarsai oleh Alfred Jules Ayer dan dikembangkan lebih lanjut oleh C. L. Stevenson. Ayer, yang berdarah Swiss itu, lahir di London pada tahun 1910. Dia menempuh pendidikan tingginya di Oxford. Sempat berkunjung ke Wiena dan tinggal beberapa bulan di sana (November 1932-April 1933). Kesempatan ini dimanfaatkan untuk bergabung dalam diskusi bulanan dengan kelompok filsuf di “Lingkaran Wiena”, kelompok pencetus positivisme logis dan tempat berkembangnya filsafat analitis. Dari Wiena Ayer kembali ke Oxford, dan menulis bukunya “Language, Truth and Logic”.
Hal pokok yang membuat nama Ayer menjadi terkenal adalah karena ia menolak keabsahan penilaian moral secara radikal. Walaupun argumentasinya diberondong dari berbagai arah, tetapi gebrakannya sempat membuat para filsuf turun gunung dan terlibat dalam perdebatan serius dan mendasar tentang prinsip-prinsip pokok etika.vii Penilaian moral yang selama ini diperdebatkan secara serius untuk sampai pada landasan yang bisa mengatur tindakan dan perilaku manusia, digugat dan dipersoalkan.
Teori ini dimulai dengan mengobservasi dan menemukan bahwa bahasa sesungguhnya digunakan dalam berbagai cara. Salah satunya adalah penggunaannya untuk menyatakan fakta atau sekurang-kurangnya apa yang diyakini sebagai fakta. Pernyataan-pernyataan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan benar atau salahnya sebuah fakta. Bahasa juga bertujuan untuk memberi perintah. Misalnya: ‘Tutup pintunya!” Tujuannya bukan untuk menyampaikan informasi, melainkan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Tetapi ada juga ucapan yang bukan pernyataan, sekaligus juga bukan perintah, misalnya: “Astaga…” “Asyik”. Ucapan ini mengekspresikan sikap pembicara. Perlu dibedakan antara melaporkan suatu sikap dan mengekspresikan sikap. Kalau seseorang mengatakan “saya mendukung Jokowi”, orang itu melaporkan sikapnya. Tetapi ketika dia berseru “Hidup Jokowi” dia tidak sedang melaporkan fakta melainkan mengekspresikan sikapnya.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan dunia penilaian moral? Apakah penilaian moral itu bermaksud bertanya, menyampaikan informasi, memberi perintah, atau mengekspresikan perasaan? Misalnya “mencuri uang itu buruk”. Penilaian moral ini tidak bermaksud memberi perintah; juga tidak sedang bertanya. Tetapi apakah juga tidak sedang memberi informasi? Kelihatannya seperti memberi informasi. Tetapi sesungguhnya informasinya tidak faktual; tidak bisa ditampilkan secara empiris, atau tidak bisa diverifikasi. Karena itu “buruk” di sini bukan merupakan fakta atau properti yang secara empiris inderawi ada pada perbuatan mencuri. Tidak bisa ditunjukkan secara faktual atau diverifikasi secara empiris bahwa mencuri itu buruk atau salah. Karena itu penilaian bahwa “mencuri uang itu buruk” hanya sekadar ungkapan perasaan. Ada rasa benci, jijik, muak, marah, jengkel. Sama seperti mengatakan “mencuri uang… huh, brengsek” Menurutnya, penilaian moral itu sekadar mengekspresikan perasaan, yang tidak bisa dilandaskan pada argumentasi etis yang bisa diterima semua pihak, selain menyentuh aspek emosi subjektif yang tidak bisa serta merta menjadi benar atau salah.
Etika emotif menganggap penilaian moral justru dibangun dari argumentasi-argumentasi emotif. Karena itu tidak logis. Penilaian moral selanjutnya dianggap sekadar ungkapan perasaan saja, diikuti pernyataan sikap. Yang terjadi secara faktual dan bisa diverifikasi pada tindakan mencuri uang misalnya, adalah ada uang yang diambil diam-diam, oleh pihak bukan pemiliknya. Ini bisa terdeteksi secara faktual. Tetapi bagaimana “fakta itu bisa dinilai sebagai tindakan yang salah”? Tidak bisa diverifikasi secara inderawi.
Dalam hal ini, penilaian moral itu hanya merupakan pernyataan yang tidak bermakna karena tak bisa diverifikasi secara empiris. Yang bisa diverifikasi adalah rasa marah, jengkel, menjijikkan atas tindakan mencuri. Karenanya, penilaian moral itu sesungguhnya ungkapan perasaan yang bisa berbeda pada setiap orang, walaupun ungkapan perasaan itu juga adalah pernyataan sikap yang mempengaruhi. Ungkapan perasaan tidak bisa diidentifikasi sebagai baik atau buruk. Jadi tidak ada perbuatan baik dan buruk. Hanya ada perbuatan yang membuat orang mengekspresikan rasa suka, tidak suka, menjijikkan, atau mengerikan.
Jika demikian, bagaimana kita bisa menetapkan satu prinsip penilaian moral yang akan diterima semua pihak dan yang bisa memastikan mana perbuatan yang baik dan benar, serta mana perbuatan yang buruk dan salah. Apakah itu berarti penilaian moral berbeda-beda pada setiap orang? Pertanyaan yang juga berkaitan adalah: Apakah betul bahwa penilaian moral adalah ungkapan perasaan saja? Apakah tidak bisa dinilai bahwa “membunuh itu buruk dan salah?”, sementara “berbagi itu baik dan benar”?
Kalau memang “buruk” atau “salah” itu bukan merupakan fakta dari perbuatan mencuri yang bisa diverifikasi, bagaimana kalau orang mengatakan dirinya merasa bersalah karena telah mencuri? Ini sesungguhnya bukan ekspresi rasa bersalah melainkan laporan atau pernyataan tentang rasa bersalah yang bisa saja dipalsukan. Ekspresi bisa diverifikasi. Sedangkan pernyataan atau laporan sintetis tentang perasaan tidak bisa diverifikasi. Karena itu tidak bermakna. Atas dasar ini etika emotif berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan moral itu sebenarnya adalah ungkapan perasaan, karenanya bisa berbeda pada setiap orang.
Selain memperlihatkan bahwa penilaian etis itu tidak bermakna Ayer juga menunjukkan bahwa sistem yang biasanya ditemukan dalam etika, sebagaimana diuraikan dalam karya para filsuf yang berkecimpung di bidang etika, tidak semuanya termasuk bidang etika. Tak hanya cenderung berisi kepingan-kepingan metafisika dan analisis konsep-konsep non-etis, etika sendiri sebenarnya juga mengandung berbagai hal yang sangat beragam. Semuanya dapat diklasifikasi menjadi empat kelas utama. Pertama adalah proposisi yang mengungkapkan definisi istilah etika, atau penilaian tentang legitimasi atau kemungkinan definisi tertentu. Misalnya, apa itu baik, adil, jujur, dan sebagainya. Kedua, adalah proposisi yang menggambarkan fenomena pengalaman moral, dan penyebabnya, misalnya pengalaman merasa bersalah, atau sesal. Ketiga, adalah nasihat untuk kebajikan moral, misalnya jangan berbohong. Dan, terakhir, adalah penilaian etis yang sebenarnya, misalnya, bahwa seks di luar nikah itu tidak dapat dibenarkan. Sayangnya, perbedaan yang terang benderang dan apa adanya antara keempat kelas ini, biasanya diabaikan oleh para filsuf etik, sehingga seringkali sangat sulit untuk mengatakan apa yang ingin mereka temukan atau buktikan dari karya mereka.viii
Sesungguhnya, mudah untuk melihat bahwa hanya kelas pertama dari empat kelas ini, yakni kelas proposisi-proposisi yang berhubungan dengan definisi-definisi tentang istilah-istilah etis, dapat dikatakan menentukan filsafat etik. Ini adalah wilayah meta-etika yang dianggap sebagai khas etika. Proposisi-proposisi yang menggambarkan fenomena pengalaman moral, dan sebab-sebab yang ditimbulkan, harus disisihkan sebagai wilayahnya ilmu psikologi atau sosiologi. Ajakan-ajakan untuk menjalani kebajikan moral sama sekali bukan proposisi, melainkan seruan yang dirancang untuk memprovokasi publik kepada jenis tindakan tertentu.ix Sesuai dengan itu, ajakan-ajakan tersebut tidak tergolong cabang filsafat atau sains. Perihal ekspresi penilaian etis belum bisa kita tentukan bagaimana seharusnya diklasifikasi. Tetapi, tentu saja, sejauh itu bukan definisi atau komentar atas definisi, atau kutipan, kita dapat mengatakan dengan tegas bahwa semua itu bukan bidang filsafat etik. Oleh karena itu, risalah filosofis yang ketat tentang etika, tidak boleh membuat pernyataan dan penilaian etika. Tetapi seharusnya, dengan memberikan analisis istilah-istilah etis, bisa ditunjukkan kategori apa yang menjadi tempat semua pernyataan tersebut dikelompokkan.x Dengan pendapat ini, Ayer mau menunjukkan bahwa banyak pembahasan mengenai etika itu sesungguhnya bukan bidang etika, termasuk penilaian moral dalam etika normatif.
Ayer juga menanggapi pertanyaan yang sering dibahas para filsuf etik mengenai kemungkinan menemukan definisi yang akan mereduksi semua istilah etis pada satu atau dua istilah fundamental. Menurut dia walaupun pertanyaan ini termasuk dalam term filsafat etik, tetapi tidak terlalu relevan. Sekarang bukan istilah apa dalam lingkup etika, yang dianggap fundamental (misalnya apakah “baik” dapat didefinisikan dari segi “benar”, atau “benar” dari segi “baik”, atau keduanya). Yang penting adalah adanya kemungkinan untuk mereduksi keseluruhan lingkup istilah etis pada istilah non-etis. Dia ingin menelusuri apakah pernyataan-pernyataan nilai etis dapat diterjemahkan ke dalam pernyataan-pernyataan fakta empiris.xi
Bahwa pernyataan itu bisa diterjemahkan demikian adalah pendapat para filsuf etik subjektivis, dan yang dikenal sebagai utilitarian. Kelompok utilitarian mendefinisikan kebenaran tindakan, dan kebaikan tujuan dari segi kesenangan, kebahagiaan, atau kepuasan yang dihasilkan bagi sebanyak mungkin orang. Definisi semacam ini memasukkan penilaian moral ke dalam sub-klas penilaian psikologis atau sosiologis; dan karena alasan ini definisi-definisi tersebut menarik bagi kita. Ini akan berakibat bahwa tuntutan etis umumnya tidak berbeda dari tuntutan faktual. Karena jika ada yang benar, akan berarti bahwa penegasan etis itu tidak berbeda secara umum dari penegasan faktual yang umumnya bertolak belakang dengannya; dan laporan yang sudah kita berikan tentang hipotesis empiris akan berlaku bagi semuanya juga.xii
Pandangan subyektivis lain bahwa sesuatu itu baik karena secara umum disetujui, ditampik Ayer, karena ada juga hal-hal yang disetujui ternyata tidak benar atau salah. Begitu juga dengan utilitarian. Kita tidak bisa mengatakan begitu saja bahwa yang menyenangkan atau memuaskan adalah sesuatu yang baik, dan yang tidak menyenangkan adalah sesuatu yang buruk. Sesuatu yang baik itu tidak ekuivalen dengan sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa validitas dari penilaian etis tidak ditentukan oleh kecenderungan tindakan-tindakan yang meningkatkan kebahagiaan, melainkan lebih oleh kondisi perasaan orang.
Konsep etika normatif yang dianggap tidak dapat direduksi menjadi konsep empiris, juga dikiritisi Ayer. Etika normatif menganut pandangan absolutist bahwa pernyataan-pernyataan etika normatif tentang nilai tidak terkontrol oleh observasi, sebagaimana proposisi empiris biasa, melainkan hanya oleh “intuisi intelektual”. Dia menuduh para pendukung etika normatif telah membuat pernyataan tentang nilai yang tidak dapat diverifikasi. Karena itu apa yang tampaknya pasti secara intuitif bagi seseorang, mungkin tampaknya meragukan, atau bahkan palsu, bagi orang lain. Maka perlu ada kriteria yang bisa digunakan seseorang dalam memutuskan di antara intuisi-intuisi yang berkonflik. Daya tarik pada intuisi saja tidak bisa berfungsi sebagai penguji bagi validitas sebuah proposisi. Sayangnya dalam kasus penilaian moral, tidak ada kriteria semacam itu yang dapat ditampilkan. Beberapa moralis mengklaim masalahnya dengan mengatakan bahwa mereka “tahu” bahwa penilaian moral mereka benar. Tetapi penilaian semacam itu hanya atas dasar kepentingan psikologis, dan tidak memiliki tendensi sama sekali untuk membuktikan validitas dari penilaian moral mana pun. Karena moralist sekecil apa pun sama-sama “mengetahui” dengan baik bahwa pandangan-pandangan etik mereka benar. Dan sejauh kepastian subjektif berlangsung, tidak ada yang bisa dipilih di antaranya. Ketika perbedaan-perbedaan opini semacam itu muncul dalam hubungan dengan proposisi empiris biasa, orang bisa berusaha untuk menyelesaikannya dengan merujuk pada, atau secara aktual mengujinya dengan, test empiris yang relevan. Tetapi menyangkut pernyataan-pernyataan etis, berdasarkan teori “absolutis” atau “intuisionis”, tidak ada test empiris yang relevan. Oleh karena itu semestinya kita dibenarkan ketika mengatakan bahwa pada teori ini pernyataan-pernyataan etis dianggap tidak dapat diverifikasi. Tentu saja itu semua juga dianggap sebagai proposisi sintetik sejati.xiii
Pengakuan juga datang dari Ayer menyangkut konsep etika fundamental yang tidak dapat dianalisis, sejauh tidak ada kriteria yang dapat digunakan seseorang untuk menguji validitas penilaian di mana penilaian-penilaian tersebut berlangsung. “Sejauh ini kami sepakat dengan kaum absolutist. Tetapi tidak seperti absolutist, kami mampu menjelaskan tentang fakta yang berkaitan dengan konsep etika. Kami mengemukakan alasan mengapa fakta tidak dapat dianalisis yakni bahwa fakta tersebut hanya pseudo-konsep. Adanya simbol etika dalam sebuah proposisi tidak menambah apa pun pada konten faktualnya. Dengan demikian, jika saya mengatakan kepada seseorang ‘Anda bersalah karena mencuri uang’, saya tidak menyatakan sesuatu yang lebih dari pada ‘Anda mencuri uang’. Dengan menambah bahwa perbuatan ini salah, saya tidak membuat pernyatan apa pun tentang itu. Saya hanya meyakinkan ketidak-sepakatan moral saya tentang itu. Saya bisa mengatakan, ‘Anda mencuri uang’ dengan nada horror, atau menulisnya dengan tambahan tanda seru yang khusus. Nada horror atau tanda seru itu, tidak menambah apa pun pada makna literer kalimat itu. Ia hanya berfungsi untuk menunjukkan bahwa ekspresi di atas diikuti oleh perasaan khusus pada pihak pembicara. Jika sekarang saya menggeneralisasi pernyataan saya sebelumnya dan mengatakan, ‘Mencuri uang itu buruk’ saya menghasilkan sebuah kalimat yang tidak memiliki makna faktual—yakni tidak mengekspresikan proposisi yang bisa benar atau salah. Seolah-olah saya menulis “Mencuri uang!!”—bentuk dan ketebalan tanda-tanda seru menunjukkan, berdasarkan kesepakatan umum, bahwa ada semacam ketidak-sepakatan moral yang diekspresikan. Jelas bahwa tidak dikatakan apa pun di sini yang dapat menjadi benar dan salah. Orang lain bisa tidak sepakat dengan saya tentang salahnya mencuri, dalam arti bahwa dia mungkin tidak memiliki perasaan yang sama seperti saya tentang mencuri, dan dia bisa tidak sepakat dengan saya tentang laporan sentimen moral saya. Tetapi dia tidak dapat, secara langsung, mengkontradiksi saya. Karena dengan mengatakan bahwa tindakan tertentu benar atau salah, saya tidak membuat pernyataan faktual apa pun, bahkan juga statement tentang status pikiran saya. Saya hanya mengekspresikan sentimen moral tertentu. Dan orang yang jelas-jelas berkontradiksi dengan saya hanya mengekspresikan sentimen moralnya. Dengan demikian tidak ada maknanya bertanya siapa dari kami yang benar. Karena tidak ada dari kami yang menegaskan proposisi sejati.”xiv
. Ayer juga mengakui bahwa istilah-istilah etika tidak hanya berfungsi untuk mengekspresikan perasaan. Istilah-istilah tersebut juga diperhitungkan untuk meningkatkan (merangsang) perasaan, dan menstimulasi tindakan. “Sesungguhnya beberapa dari istilah tersebut digunakan sedemikian rupa untuk menyampaikan kalimat-kalimat yang berefek komando. Kalimat ‘adalah kewajiban Anda untuk mengatakan yang benar, bisa dianggap baik sebagai ekspresi dari semacam rasa etis tertentu menyangkut kebenaran maupun sebagai ekspresi dari perintah ‘katakan apa yang benar.’ Kalimat ‘Anda harus mengatakan apa yang benar’ juga mencakup perintah ‘Katakanlah apa yang benar’ namun nada perintahnya kurang simpatik. Dalam kalimat ‘baik untuk mengatakan kebenaran’ perintah itu lebih dari sekadar saran. Dan dengan demikian, arti dari kata ‘baik’, dalam penggunaan etisnya dibedakan dari penggunaan kata ‘duty’ atau ‘ought’. Sesungguhnya kita bisa mendefinisikan makna dari berbagai kata etis, baik dalam arti perasaan yang berbeda seperti biasanya diekspresikan, atau pun tanggapan berbeda yang sudah dikalkulasikan untuk dikemukakan.”xv
Ayer kemudian menegaskan bahwa kalau kita tidak melihat mengapa tidak mungkin menemukan satu kriteria untuk menetapkan validitas dari penilaian etis, “itu bukan karena penilaian etis itu memiliki validitas ‘absolut’ yang independen, melainkan karena tidak memiliki validitas objektif apa pun. Jika sebuah kalimat tidak membuat pernyataan (statement) sama sekali, jelas tidak ada maknanya untuk bertanya apakah yang dikatakan itu benar atau salah. Dan kita sudah melihat bahwa kalimat yang hanya mengekspresikan penilaian moral tidak mengatakan apa pun selain ekspresi murni dari perasaan dan karenanya tidak masuk dalam kategori benar atau salah. Semuanya tidak dapat diverifikasi karena alasan yang sama seperti teriakan karena rasa sakit atau perintah yang tidak dapat diverifikasi—karena tidak ada proposisi sejati yang dieskpresikan.”xvi
Apakah berarti bahwa pernyataan atau penilaian moral itu tidak ada? Menurut Ayer orang harus pertama-tama menentukan apa artinya “baik” (meta etika). Setelah itu baru dibuatkan pernyataan moralnya. Di antara kedua langkah itu bisa dilakukan langkah-langkah yang sifatnya psikologis dan sosiologis. Misalnya: bagaimana perasaan orang terhadap tindakan itu (ngeri, takut, jijik) (psikologis). Orang tidak boleh melakukan perbuatan yang dianggap buruk (sosiologis). Sementara pernyataan moral sebagai bagian dari etika normatif tidak dapat dibenarkan karena sesungguhnya tidak mengatakan apa-apa. Maka satu-satunya yang dapat dilakukan etika adalah analisis moral terhadap bahasa moral. Dan itulah tugas metaetika.xvii
Dengan demikian pandangan intuisionisme bahwa pernyataan moral tidak perlu diverifikasi karena sudah jelas dengan sendirinya, juga ditolak oleh Ayer (bdk. Moore, Scheler, Kant). Ayer menolak pandangan ini dengan argumentasi yang sama bahwa sesuatu yang intuitif itu tidak dapat diverifikasi secara empiris. Apa lagi orang dapat saja bersembunyi di balik intuisi agar terbebas dari tuntutan verifikasi.
Tampak bahwa argumentasi etika emotif tetap berjangkar pada masalah verifikasi empiris. Artinya kita tidak dapat menentukan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk hanya berdasarkan penilaian moral melainkan melalui perdebatan. Namun menurut Ayer perdebatan di sini bukan menyangkut benar salah dalam penilaian moralnya melainkan menyangkut aspek faktual yang melingkupi peristiwa itu. Misalnya, dalam kasus perzinahan, apakah tindakan itu merugikan orang bersangkutan dan berbagai pihak terkait lainnya. Apa motivasinya. Bagaimana kaitannya dengan agama, sosial, masyarakat, dan sebagainya. Jadi bukan menyangkut positif dan negatifnya perbuatan itu.xviii Bahkan menurut Ayer justru harus ada perdebatan dengan argumentasi, bukan diterima begitu saja sebagai benar atau salah. Jika diterima begitu saja atas dasar formalitas nilai maka tidak ada ruang lagi untuk berargumentasi dalam etika.xix

4. KRITIK TERHADAP ETIKA EMOTIF

Pandangan Ayer dalam etika emotif ini juga mendapat kritik hebat dari berbagai arah. Keberatan terhadapnya juga bisa dirumuskan berdasarkan prinsip verifikasixx yang dianggap sebagai prinsip pokok untuk memastikan kebenaran dan mengabaikan aspek intuitif manusia; bahwa hanya pernyataan-pernyataan yang bisa diverifikasi secara empiris itulah yang bermakna. Dengan demikian semua yang tergolong intuisi itu tidak bermakna. Padahal dalam matematika misalnya, kebenaran intuitif tetap bermakna walaupun tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sesungguhnya ada verifikasi inderawi dan non-inderawi. Verifikasi inderawi adalah verifikasi dengan mengandalkan kemampuan indera manusia. Sesuatu itu benar ada kalau dapat diverifikasi indera manusia. Prinsip ini mengabaikan kemampuan menganalisis melalui penyimpulan. Misalnya dua ditambah dua sama dengan empat (2+2=4) itu benar, walaupun tidak bisa diverifikasi secara inderawi. Di sini kemampuan intuitif diandalkan. Dalam matematika kebenaran intuitif tetap bermakna walaupun tidak dapat diverifikasi secara empiris. Namun kritik Ayer ini tetap perlu mendapat perhatian, karena orang bisa saja menggunakan intuisi sebagai tameng untuk berlindung ketika pendapatnya dihujani kritik.
Selain itu prinsip verifikasi juga harus memperhatikan soal probabilitas dalam penyimpulan induktif. Adanya pengakuan terhadap probabilitas dalam penyimpulan-penyimpulan induktif menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah itu menjadi kebenaran bukan karena berhasil diverifikasi melainkan tidak terfalsifikasi. Kebenaran bukannya terbukti benar, melainkan terbukti belum pernah salah. Artinya tetap terbuka bagi sebuah kebenaran ilmiah untuk difalsifikasi. Kebenaran itu tidak final, maka tidak bisa diverifikasi. Karenanya pengujian sebuah teori ilmiah sesungguhnya bukan untuk sampai pada terbukti benar (verifikasi) melainkan terbukti belum ada salahnya. Artinya masih terus terbuka terhadap pengujian, bukan melalui verifikasi melainkan falsifikasi.
Selanjutnya prinsip verifikasi adalah tuntutan yang berujung pada menyerang dirinya sendiri sebagai pernyataan yang tidak bermakna. Pernyataan bahwa “hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empirislah yang bermakna” tergolong dalam pernyataan tak bermakna karena tidak bisa diverifikasi secara empiris. Kebenarannya hanya dapat diakui secara intuitif. Bahkan verifikasi sendiri sebagai prinsip untuk membuktikan sebuah kebenaran sudah dikritik oleh Karl Popper yang menjadi kritikus Lingkaran Wiena.
Etika emotif ini kemudian dilanjutkan oleh C. L. Stevenson dengan membedakan antara pandangan (belief) dan sikap (attitudes). Menyangkut pandangan, orang bisa berdiskusi dan beradu argumentasi secara rasional. Kalau tidak ada kesepakatan maka harus diserahkan pada setiap orang untuk mengambil sikap. Soal sikap tidak bisa dikatakan benar atau salah; dan harus diserahkan kepada setiap orang, karena tidak dapat dipecahkan secara rasional. Dalam sikap tidak ada makna informatif untuk menentukan benar atau salah melainkan hanya arti emotif untuk menyatakan perasaan. Perasaan itu diungkapkan, bukan memberi informasi. Ungkapan perasaan itu bisa juga untuk mempengaruhi sikap pihak lawan bicara. Pandangan ini ditolak R. M. Harexxi yang berpendapat bahwa penilaian moral itu bukan untuk mempengaruhi (influence) melainkan untuk membimbing (guidance), memberi resep dan pedoman untuk bertindak. Perasaan saja tidak bisa berfungsi sebagai pedoman.xxii
Kelemahan dari argumentasi etika emotif adalah bahwa penilaian moral hanyalah sekadar penyampaian perasaan dan tidak mengandung unsur klaim. Pada hal hakikat penilaian moral adalah klaim akan kebenaran sikap moral sehingga menjadi pedoman bagi perilaku moral. Karena klaim kebenaran itulah orang berdebat. Kesimpulan etika emotif bahwa penilaian moral tidak ada dan hanya merupakan ungkapan perasaan, tidak menyelesaikan masalah. Tetap harus diupayakan adanya penilaian moral karena itu yang dibutuhkan sebagai pedoman dalam membangun kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama dalam bermasyarakat. Namun upaya ini dianggap tidak mungkin karena menurut etika emotif penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan yang tidak mengikat. Karena pada tingkat perasaan orang tidak bisa membuat penilaian maka perlu dilibatkan aspek rasionalitas untuk sampai pada keputusan moral. Tetapi penilaian rasional juga tidak serta merta seperti apa, juga tidak ada patokan yang jelas. Bahkan keputusan juga tidak lebih menjamin kualitas sebuah penilaian moral. Penilaian moral seharusnya benar bukan karena diputuskan benar, juga bukan karena dirasa benar, melainkan memang dari dirinya sendiri benar.

5. PENUTUP

Mungkin pendapat etika emotif bahwa tidak ada penilaian moral, kurang disepakati. Penilaian moral sesungguhnya dibutuhkan untuk menyikapi perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah. Bahkan sudah dianggap sebagai semacam intuisi yang memandu. Namun sekurang-kurangnya etika emotif telah mengingatkan kita untuk tidak sekadar menggunakan intuisi dalam menentukan tindakan moral, melainkan juga melapisinya dengan argumentasi faktual. Kita perlu membangun sikap etis tidak hanya berdasarkan prinsip dan panduan yang bersifat niscaya dan serta merta, melainkan juga melalui prinsip dan panduan yang dibangun di atas argumentasi. Etika emotif berpesan bahwa proses berargumentasi adalah hal penting dalam berbagai keputusan termasuk keputusan moral. Argumentasi akan membuat setiap keputusan termasuk keputusan moral menjadi tertanggung jawabkan. Sesuatu yang baik itu tidak didapatkan karena terkondisikan saja melainkan melalui ruang argumentasi yang penuh tanggung jawab.

Akal sehat sering kali disebut juga sebagai sarana penting dalam membangun hidup bersama yang harmonis. Argumentasi membutuhkan sikap kritis, yang mengandaikan adanya penghargaan terhadap akal sehat. Seruan-seruan dan himbauan tanpa henti untuk menggunakan akal sehat, sesungguhnya mengindikasikan bahwa banyak praktik penilaian moral kita tidak cukup mengandalkan aspek akal sehat dan sikap kritis, sebagai perwujudan dari kebebasan dan tanggung jawab.
Dengan demikian, kalau Ayer berpendapat bahwa penilaian moral itu tidak ada, karena hanya merupakan ungkapan perasaan saja (emotif), dalam masyarakat justru ada praktik penilaian moral bahkan perasaan justru sering menjadi landasan bagi penilaian moral; hal yang tidak dimaksudkan oleh etika emotif. Sikap dan perilaku moral tak kritis, sekadar ikut gerbong (ramai), mudahnya orang melancarkan provokasi dengan argumentasi-argumentasi yang lebih menggosok emosi daripada akal sehat; pembelaan yang membabi buta; melihat persoalan hanya dengan kaca mata kuda; semuanya mengindikasikan adanya aroma yang dikritik etika emotif. Dengan kata lain, kalau etika emotif itu menunjukkan bahwa penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan saja, karena tidak berlaku sebagai landasan etis bersama, yang sering dipraktikkan adalah kecenderungan menggunakan aspek emotif sebagai upaya untuk melakukan penilaian moral. Dengan kata lain kalau menurut etika emotif penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan, tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia, dalam praktik justru digunakan untuk membuat penilaian moral, dan cenderung diuniversalkan.
Kecenderungan menetapkan prinsip moral pada perasaan saja, tidak hanya terjadi pada pengukuhan penilaian moral melainkan juga pada pendidikan moral. Pendidikan moral hanya dilakukan dengan mengasah perasaan tanpa landasan pertimbangan-pertimbangan argumentatif yang berakar pada penalaran akal sehat. Penilaian etika sering lebih mengandalkan rasa jijik terhadap yang kotor, mengobralkan rasa ngeri dan takut pada dosa dan hukuman.
Proses berargumentasi pada etika emotif adalah hal penting dalam berbagai keputusan termasuk keputusan moral. Argumentasi akan membuat setiap keputusan termasuk keputusan moral menjadi tertanggung jawabkan. Sesuatu yang baik tidak didapatkan karena terkondisikan melainkan digodog melalui ruang argumentatif yang penuh tanggung jawab. Dengan demikian kita bisa menghadapi pertanyaan klasik Socrates, apa sesungguhnya yang menentukan satu perbuatan sebagai baik atau buruk? Jawabnya adalah argumentasi menggunakan akal sehat yang penuh tanggung jawab. Bahkan konsep perbuatan baik mendapatkan imbalan surga, buruk mendapatkan hukuman neraka terkesan berkonotasi pada apa yang dikritik oleh etika emotif. Suatu perbuatan itu dianggap baik karena Tuhan menyukainya, memujinya; buruk karena Tuhan tidak menyukainya, membencinya, merasa jijik, jorok, dan sebagainya. Sering ada anggapan bahwa sesuatu yang baik adalah sesuatu yang menyenangkan, dan buruk karena menjijikkan atau tidak menyenangkan. Sikap terhadap LGBT memberi kesan ini, bahwa penilaian negatif terhadap kelompok ini lebih disebabkan karena perasaan jijik dari pihak heteroseksual, bahkan sebelum ada tindakan seksual apa pun. Apa yang disukai, mudah menjadi biasa, dan dinilai sebagai benar, dan apa yang tidak disukai menjadi terbiasa tak disukai lalu menjadi salah.
Akhirnya etika emotif juga mengingatkan kita untuk membuat penilaian juga dengan pempertimbangkan fakta, bukan hanya prinsip. Dengan model penilaian yang mengandalkan prinsip, orang mudah didiskreditkan bukan atas perbuatannya melainkan atas pelanggaran prinsip moral. Penilaian moral cenderung menjauhkan diri dari fakta-fakta yang melingkupi prinsip moral. Penilaian moral cenderung normatif ketimbang deskriptif. Perbuatan atau kesalahan orang lebih dilihat sebagai melanggar prinsip daripada upaya untuk memperbaiki diri. Mungkin argumentasi etika emotif sudah dipatahkan dengan berbagai argumentasi, tetapi mengenali etika emotif menyadarkan kita untuk senantiasa menguji secara kritis penilaian moral yang kita anut.

 

Benyamin Molan

ABSTRAK: Etika emotif yang diprakarsai Alfred Jules Ayer, menyatakan bahwa penilaian moral menyangkut baik atau buruknya suatu perbuatan atau tindakan, sesungguhnya tidak memiliki makna faktual, karena hanya mengandung pernyataan intuitif sintetis yang tidak bisa diverifikasi secara empiris. Pada hakikatnya penilaian moral adalah ungkapan perasaan yang tidak bisa dikaitkan dengan baik dan buruk, benar dan salah. Karenanya penilaian moral tidak dapat diperdebatkan. Etika emotif pernah meramaikan diskursus tentang dasar-dasar penilaian moral. Walaupun pandangan ini sendiri tidak tahan uji, tetapi perannya dalam diskursus etika sangat berarti lantaran telah berkontribusi membuka ruang bagi terbangunnya sikap kritis dalam menguji pernyataan dan penilaian moral.

KATA KUNCI: Etika emotif, perasaan, penilaian moral, analitis, sintetis, verifikasi, ekspresi, fakta

ABSRATCT: Emotive ethics, which was initiated by Alfred Jules Ayer, states that moral judgments regarding the good or bad of an action actually have no factual meaning, because they only contain synthetic intuitive statements that cannot be verified empirically. In fact, moral judgments are expressions of feelings that cannot be attributed to good or bad, right or wrong. Therefore the moral judgment cannot be disputed. Emotivistic ethics has been widely discussed regarding the basics of moral judgment. Although this view itself has received a lot of resistance, its role in ethical discourse is very significant in opening up space for the development of a critical attitude in testing moral statements and judgments.

KEY WORDS: emotive ethics, feelings, moral judgment, analytical, synthetic, verification, expression, fact.

1. PENDAHULUAN

Penilaian moral menyangkut baik dan buruknya suatu perbuatan adalah masalah klasik yang sudah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Sekurang-kurangnya Socrates, filsuf Yunani terkemuka zaman itu sudah mengajukan pertanyaan kritis dalam dialognya dengan Euthypro yang dilaporkan Plato. Socrates mempertanyakan, soal baik dan buruknya suatu perbuatan itu sesungguhnya ditentukan oleh siapa atau berdasarkan apa. Apakah satu perbuatan itu dinilai baik, karena diperintahkan oleh para dewa, atau satu perbuatan itu dinilai baik, maka diperintahkan oleh para dewa.

Diskursus tentang penilaian moral terus berlanjut dalam berbagai teori etika sepanjang sejarah. Semuanya terlibat dalam upaya menemukan prinsip-prinsip penilaian moral demi mengidentifikasi mana sikap dan perilaku yang baik dan mana yang buruk. Sekurang-kurangnya ada dua pandangan yang menjadi landasan bagi berbagai teori etika: (1) Teori moral Konsekuensialis yang penilaian moralnya didasarkan pada konsekuensi dari tindakan. Di dalamnya ada Egoisme Etis (Hedonisme, Eudaimonisme) dan ada Utilitarianisme. (2) Teori Moral Nonkonsekuensialis yang menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan atas dasar perintah ilahi (teori Perintah Ilahi) dan atas dasar kewajiban (Deontologi).i

Etika emotif muncul dengan pemikiran kritis yang tidak hanya mempertanyakan soal baik atau buruk melainkan apakah orang bisa memberikan penilaian pada tindakan manusia? Menurut pemikiran ini, penilaian moral yang berada di wilayah nilai (values) tidak bisa dikenakan pada perbuatan yang berada di wilayah fakta (facts). Penilaian moral yang tidak dapat diverifikasi secara empiris tidak dapat juga dikenakan pada perilaku yang dapat diverifikasi. Penilaian moral tak lebih dari ungkapan perasaan seseorang yang tidak bisa dinilai sebagai benar atau salah. Dan karena itu pula tidak dapat dibantah atau dibenarkan. Penilaian moral sesungguhnya tidak ada.

Kalau tidak ada penilaian moral, bagaimana dengan prinsip-prinsip moral yang menjadi landasan bagi penilaian moral? Apakah orang masih perlu melakukan perdebatan moral untuk sampai pada prinsip-prinsip yang dapat dianut untuk menilai benar salahnya suatu sikap atau tindakan moral? Bagaimana pendapat teori moral, misalnya dari George Edward Moore dan Max Scheler, bahwa nilai-nilai moral itu langsung dilihat dan ditemukan secara intuitif dan bukan secara inderawi?ii Berbicara mengenai prinsip verifikasi, apakah hanya ada verifikasi empiris inderawi, tanpa ada verifikasi intuitif atau intelektual? Menurut etika emotif, penilaian moral tentang baik buruk, benar salahnya suatu perbuatan, tindakan, atau perilaku, ternyata tidak bermakna. Tidak heran kalau pandangan etika emotif telah menggerakkan diskusi besar menyangkut penilaian moral. Dengan merujuk dan berkaca pada etika emotif, kita dapat juga merefleksikan penilaian moral yang kita anut. Sekurang-kurangnya mempertanyakan sikap dan penilaian moral kita terutama menyangkut ciri yang sangat khas pada etika sebagai refleksi kritis terhadap ajaran moral.

2. MENUJU ETIKA EMOTIF

Tidak ada konsep pemikiran filosofis yang turun langsung dari langit. Semuanya berkonteks. Sebagaimana biasanya, ide dan pemikiran filosofis akan terus bermunculan dan berkembang secara bertahap. Mula-mula, ide itu dikembangkan secara sederhana, mentah, kasar, berantakan dan kurang tertata. Banyak orang akan tertarik dengan ide itu hanya karena alasan tertentu. Tetapi selanjutnya ide tersebut akan dikritisi, dan kalau ditemukan kelemahan serius di dalamnya maka akan ditinggalkan. Akan tetapi, ada pihak lain yang malahan terus tertarik dengan ide dasar itu, dan berupaya mendalaminya—memberinya formulasi baru—sehingga tampil kokoh menghadapi berbagai pengujian kritis. Sampai suatu saat teori itu pun terlihat aman. Tetapi argumen-argumen baru bisa saja dilancarkan dan muncul lagi keraguan terhadap teori versi baru tersebut. Tentu ada lagi yang mengabaikan ide itu, tetapi ada juga yang tetap berupaya menyelamatkannya dengan terus membuat revisi. Proses ini terjadi juga pada etika emotif. Pada bagian berikut ini, akan ditelusuri berbagai pemikiran filosofis yang mengitarinya.iii

2.1. Subjektivisme Etis

Teori tentang Subjektivisme Etis telah diawali dengan ide sederhana, sebagaimana diungkapkan David Hume, bahwa moralitas adalah masalah sentimen, bukannya fakta. Tetapi ketika keberatan dikemukakan terhadap teori itu, para pembelanya berusaha merespon keberatan tersebut. Teori pun berkembang menjadi jauh lebih berbobot.

Penilaian moral yang diserahkan pada masing-masing subjek, sudah secara umum dikenal sebagai subjektivisme etis. Setiap orang adalah subjek moral yang menganut penilaian moral sendiri. Tidak ada satu penilaian objektif pun yang berlaku bagi semua pihak dan dijadikan patokan bagi semua penilaian moral. Nilai moral yang benar dan baik bagi seseorang belum tentu menjadi baik dan benar bagi orang lain. Misalnya, orientasi seksual homoseks dan heteroseks, adalah fakta. Tetapi bahwa heteroseks dianggap baik dan homoseks itu buruk, sesungguhnya bukan fakta, melainkan sikap. Orang sekadar mengatakan sesuatu menyangkut perasaannya terhadap homoseksualitas; ada rasa jijik, muak, geli, benci, nyinyir.

Jelas bahwa subjektivisme etis bukan sebuah teori tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Ia tidak sedang berupaya menginformasikan tentang bagaimana seharusnya kita hidup atau opini moral apa yang harus kita anut. Ia hanya mengekspresikan perasaan personal dan menyetujuinya. Namun sikap apa pun yang kita pilih, tidak akan bisa memastikan bahwa pilihan kita itu menggambarkan “kebenaran” bagi semua pihak. Mereka akan mengakui bahwa pandangan mereka itu adalah pandangan personal.

2.2. Subjektivisme Sederhana (Simple-Subjectivism)iv

Versi paling sederhana dari teori ini adalah ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu secara moral baik atau buruk, hanya atas dasar dia menyetujuinya atau tidak menyetujuinya. Dua keberatan dikemukakan di sini. Pertama, bahwa kadang-kadang kita bisa salah dalam mengevaluasi. Dan kalau ternyata salah, bisa saja kita ingin memperbaikinya. Ketika kita menemukan bahwa kita salah, terbuka kemungkinan bahwa kita ingin mengubah penilaian kita. Tetapi jika subjektivisme sederhana benar, jelas tidak mungkin kita mengubah—karena subjektivisme sederhana menyatakan bahwa setiap kita itu tidak bisa salah. Kembali kita pertimbangkan pernyataan seseorang bahwa homoseksualitas itu immoral. Menurut subjektivisme sederhana, apa yang dikatakan orang itu adalah bahwa dia, tidak menyetujui homoseksualitas. Tentu saja mungkin bahwa dia tidak berbicara jujur—mungkin sesungguhnya dia tidak benar-benar tak menyetujui homoseksualitas. Dia hanya berpura-pura saja pada audiensnya yang konservatif. Tetapi jika kita mengandaikan dia berbicara jujur, tentu saja dia mengatakan yang benar. Sepanjang dia jujur menggambarkan perasaannya, dia tidak dapat salah. Tetapi persoalannya adalah bagaimana bisa dipastikan bahwa orang itu berbicara jujur, walaupun sesungguhnya dia berbicara jujur.

Dengan demikian argumen silogisme hipotetis berikut ini bisa ditampilkan untuk melawan subjektivisme sederhana: Jika subjektivisme sederhana benar, maka setiap kita itu tak bisa salah (infallible) dalam penilaian moral kita, sekurang-kurangnya sepanjang kita berbicara jujur. Akan tetapi, ternyata kita tidak selalu tak bisa salah (infallible). Kita bisa saja sesat atau salah, bahkan ketika kita berkata jujur. Oleh karena itu, subjektivisme sederhana tidak dapat dibenarkan.

Argumen kedua melawan subjektivisme sederhana didasarkan pada pandangan bahwa teori ini tidak bertanggung jawab terhadap fakta ketidak-sepakatan dalam etika. Rachelsv mengambil kisah tentang Dan Bradley, mantan direktur dari the United States Legal Services Administration. Bradley mengundurkan diri, lalu keluar dari persembunyiannya, tampil terbuka di depan publik, dan mengakui homoseksualitasnya. (Dia adalah seorang pejabat tinggi, karena itu deklarasinya pun dipublikasikan secara luas). Bradley menegaskan bahwa homoseksualitas itu tidak immoral. Di pihak lain ada Falwell seorang pengkhotbah, yang tidak sepakat, dan berpendapat bahwa homoseksualitas itu immoral. Tetapi perhatikan apa pandangan subjektivisme sederhana menyangkut situasi ini.

Bradley mengatakan bahwa homoseksualitas itu tidak immoral, dia hanya membuat satu pernyataan tentang sikap (attitude)—dia mengatakan bahwa dia, Bradley, tidak menolak homoseksualitas. Apakah Falwell tidak sepakat dengan itu? Tidak, Falwell sepakat bahwa Bradley tidak menolak homoseksualitas. Pada saat yang sama, ketika Falwell mengatakan bahwa homoseksualitas itu immoral, dia hanya mengatakan bahwa dia, Falwell, menolak homoseksualitas. Mengapa Bradley harus menolak itu? Berdasarkan faktanya, Bradley tentu saja mengakui bahwa Falwell menolak homoseksualitas. Dengan demikian menurut subjektivisme sederhana, tak ada ketidak-sepakatan antara mereka—masing-masing akan mengakui kebenaran dari apa yang dikatakan oleh pihak yang lain. Bagaimana pun juga, tak bisa disangkal bahwa Falwell dan Bradley justru tidak-sepakat tentang apakah homoseksualitas itu immoral. Keduanya jelas sangat bertolak-belakang satu sama lain. Ketika seseorang mengatakan “homoseksualitas secara moral dapat diterima” dan yang lainnya mengatakan “homoseksualitas secara moral tidak dapat diterima”, mereka tidak sepakat.

Argumen-argumen ini, dan argumen serupa lainnya, menunjukkan bahwa subjektivisme sederhana adalah sebuah teori yang cacat: tidak dapat dipertahankan, sekurang-kurangnya tidak dalam bentuk yang mentah dan kasar seperti itu. Beberapa pemikir telah memilih untuk menolak keseluruhan ide tentang subjektivisme etis. Akan tetapi, ada juga pihak lain yang terus berupaya untuk mendapatkan versi yang lebih baik dari teori itu, sebuah teori yang tahan uji atau tidak rentan terhadap keberatan-keberatan ini. Akan teramati nantinya bagaimana etika emotif mengembangkan konsep ini. Menurut etika emotif, tidak ada ketidak-sepakatan karena memang tidak ada perbedaan pendapat atau pun perdebatan. Penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan. Dan soal perasaan tidak bisa diperdebatkan.

2.3. Filsafat Analitik dan Positivisme Logis

Filsafat Analitik adalah sebuah konsep pemikiran berhadapan dengan filsafat zamannya yang sangat condong ke idealisme metafisis sebagaimana dikembangkan oleh Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger, dan lain-lain. Filsafat Analitik muncul terutama di wilayah berbahasa Inggris dan Skandinavia dengan para tokohnya antara lain Gottlob Frege, George Edward Moore, Bertrand Russel, dan Ludwig Wittgenstein. Nama terakhir ini telah menerbitkan buku yang sangat berpengaruh berjudul ”Tractatus Logico-philosophicus”. Buku ini merupakan bagian dari upaya menguraikan masalah-masalah filsafat melalui analisis bahasa.

Menurut pandangan filsafat analitis banyak persoalan dalam filsafat dianggap berasal dari penggunaan bahasa yang kacau, keliru dan tidak logis. Maka dirasa perlu untuk memecahkan, menguraikan (analisis), dan menyiangi pernyataan bermakna dari yang tidak bermakna. Pernyataan bermakna adalah pernyataan yang faktual dan dapat diidentifikasi secara inderawi dan empiris. Filsafat mengalami banyak persoalan karena berkecimpung di arena yang tidak teridentifikasi secara empiris dan faktual. Filsafat seharusnya hanya berkecimpung dalam wacana dan pernyataan-pernyataan yang bermakna. Sementara tentang pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna orang harus diam. Dan pernyataan bermakna itu teridentifikasi ketika kita menggambarkan sesuatu yang dapat diverifikasi secara empiris. Itu berarti bahwa filsafat harus “diam” terhadap dunia metafisika dan etika. Dengan begitu filsafat bisa berperan sebagai terapi bagi cara berpikir yang kurang sehat, dan menghilangkan berbagai masalah dalam dirinya sendiri.vi

Pemikiran filsafat analitis ini kemudian berkembang lebih lanjut dalam kelompok Lingkaran Wiena yang dikenal sebagai positivisme logis. Menurut mereka filsafat seharusnya hanya bergerak di bidang yang bermakna, dan meninggalkan bidang yang tidak bermakna. Untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan bermakna dan tidak bermakna, kita perlu masuk ke dalam arena pemikiran logika. Bagi positivisme logis logika adalah bagian utama dari filsafat.

Dalam logika kita mengenal adanya putusan, sebagai kegiatan mental yang kemudian diverbalisasikan dalam proposisi, dan diklasifikasi menjadi putusan analitis dan putusan sintetis. Putusan analitis selalu bersifat tautologis, di mana predikat hanyalah pernyataan lain dari subyek, Karenanya putusan analitis tak perlu diverifikasi lagi. Misalnya “lingkaran itu bulat” merupakan putusan analitis yang tidak perlu diverifikasi lagi. Lingkaran (subjek) dan bulat (predikat) itu sesungguhnya sama. Begitu juga dalam dunia matematika: 2 + 2 = 4. Tidak perlu diverifikasi, karena 4 itu sebenarnya sama persis dengan dua tambah dua. Tetapi ada juga putusan yang disebut sintetis, yang perlu diverifikasi. Misalnya: pernyataan bahwa “suhu udara di Jakarta panas”, perlu diverifikasi dengan bukti-bukti empiris yang membenarkan bahwa suhu udara di Jakarta memang panas.

Bagaimana dengan pernyataan bahwa “mencuri itu buruk”. Proposisi ini termasuk proposisi sintetis yang harus diverifikasi secara empiris. Karena “buruk” itu bukan merupakan properti yang melekat pada perbuatan mencuri, maka tidak bisa diverifikasi secara empiris. Karenanya putusan ini tidak bermakna, tidak menambah apa pun pada perbuatan mencuri.

3. ETIKA EMOTIF AYER

Etika Emotif, diprakarsai oleh Alfred Jules Ayer dan dikembangkan lebih lanjut oleh C. L. Stevenson. Ayer, yang berdarah Swiss itu, lahir di London pada tahun 1910. Dia menempuh pendidikan tingginya di Oxford. Sempat berkunjung ke Wiena dan tinggal beberapa bulan di sana (November 1932-April 1933). Kesempatan ini dimanfaatkan untuk bergabung dalam diskusi bulanan dengan kelompok filsuf di “Lingkaran Wiena”, kelompok pencetus positivisme logis dan tempat berkembangnya filsafat analitis. Dari Wiena Ayer kembali ke Oxford, dan menulis bukunya “Language, Truth and Logic”.

Hal pokok yang membuat nama Ayer menjadi terkenal adalah karena ia menolak keabsahan penilaian moral secara radikal. Walaupun argumentasinya diberondong dari berbagai arah, tetapi gebrakannya sempat membuat para filsuf turun gunung dan terlibat dalam perdebatan serius dan mendasar tentang prinsip-prinsip pokok etika.vii Penilaian moral yang selama ini diperdebatkan secara serius untuk sampai pada landasan yang bisa mengatur tindakan dan perilaku manusia, digugat dan dipersoalkan.

Teori ini dimulai dengan mengobservasi dan menemukan bahwa bahasa sesungguhnya digunakan dalam berbagai cara. Salah satunya adalah penggunaannya untuk menyatakan fakta atau sekurang-kurangnya apa yang diyakini sebagai fakta. Pernyataan-pernyataan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan benar atau salahnya sebuah fakta. Bahasa juga bertujuan untuk memberi perintah. Misalnya: ‘Tutup pintunya!” Tujuannya bukan untuk menyampaikan informasi, melainkan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Tetapi ada juga ucapan yang bukan pernyataan, sekaligus juga bukan perintah, misalnya: “Astaga…” “Asyik”. Ucapan ini mengekspresikan sikap pembicara. Perlu dibedakan antara melaporkan suatu sikap dan mengekspresikan sikap. Kalau seseorang mengatakan “saya mendukung Jokowi”, orang itu melaporkan sikapnya. Tetapi ketika dia berseru “Hidup Jokowi” dia tidak sedang melaporkan fakta melainkan mengekspresikan sikapnya.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan dunia penilaian moral? Apakah penilaian moral itu bermaksud bertanya, menyampaikan informasi, memberi perintah, atau mengekspresikan perasaan? Misalnya “mencuri uang itu buruk”. Penilaian moral ini tidak bermaksud memberi perintah; juga tidak sedang bertanya. Tetapi apakah juga tidak sedang memberi informasi? Kelihatannya seperti memberi informasi. Tetapi sesungguhnya informasinya tidak faktual; tidak bisa ditampilkan secara empiris, atau tidak bisa diverifikasi. Karena itu “buruk” di sini bukan merupakan fakta atau properti yang secara empiris inderawi ada pada perbuatan mencuri. Tidak bisa ditunjukkan secara faktual atau diverifikasi secara empiris bahwa mencuri itu buruk atau salah. Karena itu penilaian bahwa “mencuri uang itu buruk” hanya sekadar ungkapan perasaan. Ada rasa benci, jijik, muak, marah, jengkel. Sama seperti mengatakan “mencuri uang… huh, brengsek” Menurutnya, penilaian moral itu sekadar mengekspresikan perasaan, yang tidak bisa dilandaskan pada argumentasi etis yang bisa diterima semua pihak, selain menyentuh aspek emosi subjektif yang tidak bisa serta merta menjadi benar atau salah.

Etika emotif menganggap penilaian moral justru dibangun dari argumentasi-argumentasi emotif. Karena itu tidak logis. Penilaian moral selanjutnya dianggap sekadar ungkapan perasaan saja, diikuti pernyataan sikap. Yang terjadi secara faktual dan bisa diverifikasi pada tindakan mencuri uang misalnya, adalah ada uang yang diambil diam-diam, oleh pihak bukan pemiliknya. Ini bisa terdeteksi secara faktual. Tetapi bagaimana “fakta itu bisa dinilai sebagai tindakan yang salah”? Tidak bisa diverifikasi secara inderawi.

Dalam hal ini, penilaian moral itu hanya merupakan pernyataan yang tidak bermakna karena tak bisa diverifikasi secara empiris. Yang bisa diverifikasi adalah rasa marah, jengkel, menjijikkan atas tindakan mencuri. Karenanya, penilaian moral itu sesungguhnya ungkapan perasaan yang bisa berbeda pada setiap orang, walaupun ungkapan perasaan itu juga adalah pernyataan sikap yang mempengaruhi. Ungkapan perasaan tidak bisa diidentifikasi sebagai baik atau buruk. Jadi tidak ada perbuatan baik dan buruk. Hanya ada perbuatan yang membuat orang mengekspresikan rasa suka, tidak suka, menjijikkan, atau mengerikan.

Jika demikian, bagaimana kita bisa menetapkan satu prinsip penilaian moral yang akan diterima semua pihak dan yang bisa memastikan mana perbuatan yang baik dan benar, serta mana perbuatan yang buruk dan salah. Apakah itu berarti penilaian moral berbeda-beda pada setiap orang? Pertanyaan yang juga berkaitan adalah: Apakah betul bahwa penilaian moral adalah ungkapan perasaan saja? Apakah tidak bisa dinilai bahwa “membunuh itu buruk dan salah?”, sementara “berbagi itu baik dan benar”?

Kalau memang “buruk” atau “salah” itu bukan merupakan fakta dari perbuatan mencuri yang bisa diverifikasi, bagaimana kalau orang mengatakan dirinya merasa bersalah karena telah mencuri? Ini sesungguhnya bukan ekspresi rasa bersalah melainkan laporan atau pernyataan tentang rasa bersalah yang bisa saja dipalsukan. Ekspresi bisa diverifikasi. Sedangkan pernyataan atau laporan sintetis tentang perasaan tidak bisa diverifikasi. Karena itu tidak bermakna. Atas dasar ini etika emotif berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan moral itu sebenarnya adalah ungkapan perasaan, karenanya bisa berbeda pada setiap orang.

Selain memperlihatkan bahwa penilaian etis itu tidak bermakna Ayer juga menunjukkan bahwa sistem yang biasanya ditemukan dalam etika, sebagaimana diuraikan dalam karya para filsuf yang berkecimpung di bidang etika, tidak semuanya termasuk bidang etika. Tak hanya cenderung berisi kepingan-kepingan metafisika dan analisis konsep-konsep non-etis, etika sendiri sebenarnya juga mengandung berbagai hal yang sangat beragam. Semuanya dapat diklasifikasi menjadi empat kelas utama. Pertama adalah proposisi yang mengungkapkan definisi istilah etika, atau penilaian tentang legitimasi atau kemungkinan definisi tertentu. Misalnya, apa itu baik, adil, jujur, dan sebagainya. Kedua, adalah proposisi yang menggambarkan fenomena pengalaman moral, dan penyebabnya, misalnya pengalaman merasa bersalah, atau sesal. Ketiga, adalah nasihat untuk kebajikan moral, misalnya jangan berbohong. Dan, terakhir, adalah penilaian etis yang sebenarnya, misalnya, bahwa seks di luar nikah itu tidak dapat dibenarkan. Sayangnya, perbedaan yang terang benderang dan apa adanya antara keempat kelas ini, biasanya diabaikan oleh para filsuf etik, sehingga seringkali sangat sulit untuk mengatakan apa yang ingin mereka temukan atau buktikan dari karya mereka.viii

Sesungguhnya, mudah untuk melihat bahwa hanya kelas pertama dari empat kelas ini, yakni kelas proposisi-proposisi yang berhubungan dengan definisi-definisi tentang istilah-istilah etis, dapat dikatakan menentukan filsafat etik. Ini adalah wilayah meta-etika yang dianggap sebagai khas etika. Proposisi-proposisi yang menggambarkan fenomena pengalaman moral, dan sebab-sebab yang ditimbulkan, harus disisihkan sebagai wilayahnya ilmu psikologi atau sosiologi. Ajakan-ajakan untuk menjalani kebajikan moral sama sekali bukan proposisi, melainkan seruan yang dirancang untuk memprovokasi publik kepada jenis tindakan tertentu.ix Sesuai dengan itu, ajakan-ajakan tersebut tidak tergolong cabang filsafat atau sains. Perihal ekspresi penilaian etis belum bisa kita tentukan bagaimana seharusnya diklasifikasi. Tetapi, tentu saja, sejauh itu bukan definisi atau komentar atas definisi, atau kutipan, kita dapat mengatakan dengan tegas bahwa semua itu bukan bidang filsafat etik. Oleh karena itu, risalah filosofis yang ketat tentang etika, tidak boleh membuat pernyataan dan penilaian etika. Tetapi seharusnya, dengan memberikan analisis istilah-istilah etis, bisa ditunjukkan kategori apa yang menjadi tempat semua pernyataan tersebut dikelompokkan.x Dengan pendapat ini, Ayer mau menunjukkan bahwa banyak pembahasan mengenai etika itu sesungguhnya bukan bidang etika, termasuk penilaian moral dalam etika normatif.

Ayer juga menanggapi pertanyaan yang sering dibahas para filsuf etik mengenai kemungkinan menemukan definisi yang akan mereduksi semua istilah etis pada satu atau dua istilah fundamental. Menurut dia walaupun pertanyaan ini termasuk dalam term filsafat etik, tetapi tidak terlalu relevan. Sekarang bukan istilah apa dalam lingkup etika, yang dianggap fundamental (misalnya apakah “baik” dapat didefinisikan dari segi “benar”, atau “benar” dari segi “baik”, atau keduanya). Yang penting adalah adanya kemungkinan untuk mereduksi keseluruhan lingkup istilah etis pada istilah non-etis. Dia ingin menelusuri apakah pernyataan-pernyataan nilai etis dapat diterjemahkan ke dalam pernyataan-pernyataan fakta empiris.xi

Bahwa pernyataan itu bisa diterjemahkan demikian adalah pendapat para filsuf etik subjektivis, dan yang dikenal sebagai utilitarian. Kelompok utilitarian mendefinisikan kebenaran tindakan, dan kebaikan tujuan dari segi kesenangan, kebahagiaan, atau kepuasan yang dihasilkan bagi sebanyak mungkin orang. Definisi semacam ini memasukkan penilaian moral ke dalam sub-klas penilaian psikologis atau sosiologis; dan karena alasan ini definisi-definisi tersebut menarik bagi kita. Ini akan berakibat bahwa tuntutan etis umumnya tidak berbeda dari tuntutan faktual. Karena jika ada yang benar, akan berarti bahwa penegasan etis itu tidak berbeda secara umum dari penegasan faktual yang umumnya bertolak belakang dengannya; dan laporan yang sudah kita berikan tentang hipotesis empiris akan berlaku bagi semuanya juga.xii

Pandangan subyektivis lain bahwa sesuatu itu baik karena secara umum disetujui, ditampik Ayer, karena ada juga hal-hal yang disetujui ternyata tidak benar atau salah. Begitu juga dengan utilitarian. Kita tidak bisa mengatakan begitu saja bahwa yang menyenangkan atau memuaskan adalah sesuatu yang baik, dan yang tidak menyenangkan adalah sesuatu yang buruk. Sesuatu yang baik itu tidak ekuivalen dengan sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa validitas dari penilaian etis tidak ditentukan oleh kecenderungan tindakan-tindakan yang meningkatkan kebahagiaan, melainkan lebih oleh kondisi perasaan orang.

Konsep etika normatif yang dianggap tidak dapat direduksi menjadi konsep empiris, juga dikiritisi Ayer. Etika normatif menganut pandangan absolutist bahwa pernyataan-pernyataan etika normatif tentang nilai tidak terkontrol oleh observasi, sebagaimana proposisi empiris biasa, melainkan hanya oleh “intuisi intelektual”. Dia menuduh para pendukung etika normatif telah membuat pernyataan tentang nilai yang tidak dapat diverifikasi. Karena itu apa yang tampaknya pasti secara intuitif bagi seseorang, mungkin tampaknya meragukan, atau bahkan palsu, bagi orang lain. Maka perlu ada kriteria yang bisa digunakan seseorang dalam memutuskan di antara intuisi-intuisi yang berkonflik. Daya tarik pada intuisi saja tidak bisa berfungsi sebagai penguji bagi validitas sebuah proposisi. Sayangnya dalam kasus penilaian moral, tidak ada kriteria semacam itu yang dapat ditampilkan. Beberapa moralis mengklaim masalahnya dengan mengatakan bahwa mereka “tahu” bahwa penilaian moral mereka benar. Tetapi penilaian semacam itu hanya atas dasar kepentingan psikologis, dan tidak memiliki tendensi sama sekali untuk membuktikan validitas dari penilaian moral mana pun. Karena moralist sekecil apa pun sama-sama “mengetahui” dengan baik bahwa pandangan-pandangan etik mereka benar. Dan sejauh kepastian subjektif berlangsung, tidak ada yang bisa dipilih di antaranya. Ketika perbedaan-perbedaan opini semacam itu muncul dalam hubungan dengan proposisi empiris biasa, orang bisa berusaha untuk menyelesaikannya dengan merujuk pada, atau secara aktual mengujinya dengan, test empiris yang relevan. Tetapi menyangkut pernyataan-pernyataan etis, berdasarkan teori “absolutis” atau “intuisionis”, tidak ada test empiris yang relevan. Oleh karena itu semestinya kita dibenarkan ketika mengatakan bahwa pada teori ini pernyataan-pernyataan etis dianggap tidak dapat diverifikasi. Tentu saja itu semua juga dianggap sebagai proposisi sintetik sejati.xiii

Pengakuan juga datang dari Ayer menyangkut konsep etika fundamental yang tidak dapat dianalisis, sejauh tidak ada kriteria yang dapat digunakan seseorang untuk menguji validitas penilaian di mana penilaian-penilaian tersebut berlangsung. “Sejauh ini kami sepakat dengan kaum absolutist. Tetapi tidak seperti absolutist, kami mampu menjelaskan tentang fakta yang berkaitan dengan konsep etika. Kami mengemukakan alasan mengapa fakta tidak dapat dianalisis yakni bahwa fakta tersebut hanya pseudo-konsep. Adanya simbol etika dalam sebuah proposisi tidak menambah apa pun pada konten faktualnya. Dengan demikian, jika saya mengatakan kepada seseorang ‘Anda bersalah karena mencuri uang’, saya tidak menyatakan sesuatu yang lebih dari pada ‘Anda mencuri uang’. Dengan menambah bahwa perbuatan ini salah, saya tidak membuat pernyatan apa pun tentang itu. Saya hanya meyakinkan ketidak-sepakatan moral saya tentang itu. Saya bisa mengatakan, ‘Anda mencuri uang’ dengan nada horror, atau menulisnya dengan tambahan tanda seru yang khusus. Nada horror atau tanda seru itu, tidak menambah apa pun pada makna literer kalimat itu. Ia hanya berfungsi untuk menunjukkan bahwa ekspresi di atas diikuti oleh perasaan khusus pada pihak pembicara. Jika sekarang saya menggeneralisasi pernyataan saya sebelumnya dan mengatakan, ‘Mencuri uang itu buruk’ saya menghasilkan sebuah kalimat yang tidak memiliki makna faktual—yakni tidak mengekspresikan proposisi yang bisa benar atau salah. Seolah-olah saya menulis “Mencuri uang!!”—bentuk dan ketebalan tanda-tanda seru menunjukkan, berdasarkan kesepakatan umum, bahwa ada semacam ketidak-sepakatan moral yang diekspresikan. Jelas bahwa tidak dikatakan apa pun di sini yang dapat menjadi benar dan salah. Orang lain bisa tidak sepakat dengan saya tentang salahnya mencuri, dalam arti bahwa dia mungkin tidak memiliki perasaan yang sama seperti saya tentang mencuri, dan dia bisa tidak sepakat dengan saya tentang laporan sentimen moral saya. Tetapi dia tidak dapat, secara langsung, mengkontradiksi saya. Karena dengan mengatakan bahwa tindakan tertentu benar atau salah, saya tidak membuat pernyataan faktual apa pun, bahkan juga statement tentang status pikiran saya. Saya hanya mengekspresikan sentimen moral tertentu. Dan orang yang jelas-jelas berkontradiksi dengan saya hanya mengekspresikan sentimen moralnya. Dengan demikian tidak ada maknanya bertanya siapa dari kami yang benar. Karena tidak ada dari kami yang menegaskan proposisi sejati.”xiv

. Ayer juga mengakui bahwa istilah-istilah etika tidak hanya berfungsi untuk mengekspresikan perasaan. Istilah-istilah tersebut juga diperhitungkan untuk meningkatkan (merangsang) perasaan, dan menstimulasi tindakan. “Sesungguhnya beberapa dari istilah tersebut digunakan sedemikian rupa untuk menyampaikan kalimat-kalimat yang berefek komando. Kalimat ‘adalah kewajiban Anda untuk mengatakan yang benar, bisa dianggap baik sebagai ekspresi dari semacam rasa etis tertentu menyangkut kebenaran maupun sebagai ekspresi dari perintah ‘katakan apa yang benar.’ Kalimat ‘Anda harus mengatakan apa yang benar’ juga mencakup perintah ‘Katakanlah apa yang benar’ namun nada perintahnya kurang simpatik. Dalam kalimat ‘baik untuk mengatakan kebenaran’ perintah itu lebih dari sekadar saran. Dan dengan demikian, arti dari kata ‘baik’, dalam penggunaan etisnya dibedakan dari penggunaan kata ‘duty’ atau ‘ought’. Sesungguhnya kita bisa mendefinisikan makna dari berbagai kata etis, baik dalam arti perasaan yang berbeda seperti biasanya diekspresikan, atau pun tanggapan berbeda yang sudah dikalkulasikan untuk dikemukakan.”xv

Ayer kemudian menegaskan bahwa kalau kita tidak melihat mengapa tidak mungkin menemukan satu kriteria untuk menetapkan validitas dari penilaian etis, “itu bukan karena penilaian etis itu memiliki validitas ‘absolut’ yang independen, melainkan karena tidak memiliki validitas objektif apa pun. Jika sebuah kalimat tidak membuat pernyataan (statement) sama sekali, jelas tidak ada maknanya untuk bertanya apakah yang dikatakan itu benar atau salah. Dan kita sudah melihat bahwa kalimat yang hanya mengekspresikan penilaian moral tidak mengatakan apa pun selain ekspresi murni dari perasaan dan karenanya tidak masuk dalam kategori benar atau salah. Semuanya tidak dapat diverifikasi karena alasan yang sama seperti teriakan karena rasa sakit atau perintah yang tidak dapat diverifikasi—karena tidak ada proposisi sejati yang dieskpresikan.”xvi

Apakah berarti bahwa pernyataan atau penilaian moral itu tidak ada? Menurut Ayer orang harus pertama-tama menentukan apa artinya “baik” (meta etika). Setelah itu baru dibuatkan pernyataan moralnya. Di antara kedua langkah itu bisa dilakukan langkah-langkah yang sifatnya psikologis dan sosiologis. Misalnya: bagaimana perasaan orang terhadap tindakan itu (ngeri, takut, jijik) (psikologis). Orang tidak boleh melakukan perbuatan yang dianggap buruk (sosiologis). Sementara pernyataan moral sebagai bagian dari etika normatif tidak dapat dibenarkan karena sesungguhnya tidak mengatakan apa-apa. Maka satu-satunya yang dapat dilakukan etika adalah analisis moral terhadap bahasa moral. Dan itulah tugas metaetika.xvii

Dengan demikian pandangan intuisionisme bahwa pernyataan moral tidak perlu diverifikasi karena sudah jelas dengan sendirinya, juga ditolak oleh Ayer (bdk. Moore, Scheler, Kant). Ayer menolak pandangan ini dengan argumentasi yang sama bahwa sesuatu yang intuitif itu tidak dapat diverifikasi secara empiris. Apa lagi orang dapat saja bersembunyi di balik intuisi agar terbebas dari tuntutan verifikasi.

Tampak bahwa argumentasi etika emotif tetap berjangkar pada masalah verifikasi empiris. Artinya kita tidak dapat menentukan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk hanya berdasarkan penilaian moral melainkan melalui perdebatan. Namun menurut Ayer perdebatan di sini bukan menyangkut benar salah dalam penilaian moralnya melainkan menyangkut aspek faktual yang melingkupi peristiwa itu. Misalnya, dalam kasus perzinahan, apakah tindakan itu merugikan orang bersangkutan dan berbagai pihak terkait lainnya. Apa motivasinya. Bagaimana kaitannya dengan agama, sosial, masyarakat, dan sebagainya. Jadi bukan menyangkut positif dan negatifnya perbuatan itu.xviii Bahkan menurut Ayer justru harus ada perdebatan dengan argumentasi, bukan diterima begitu saja sebagai benar atau salah. Jika diterima begitu saja atas dasar formalitas nilai maka tidak ada ruang lagi untuk berargumentasi dalam etika.xix

  1. KRITIK TERHADAP ETIKA EMOTIF

Pandangan Ayer dalam etika emotif ini juga mendapat kritik hebat dari berbagai arah. Keberatan terhadapnya juga bisa dirumuskan berdasarkan prinsip verifikasixx yang dianggap sebagai prinsip pokok untuk memastikan kebenaran dan mengabaikan aspek intuitif manusia; bahwa hanya pernyataan-pernyataan yang bisa diverifikasi secara empiris itulah yang bermakna. Dengan demikian semua yang tergolong intuisi itu tidak bermakna. Padahal dalam matematika misalnya, kebenaran intuitif tetap bermakna walaupun tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sesungguhnya ada verifikasi inderawi dan non-inderawi. Verifikasi inderawi adalah verifikasi dengan mengandalkan kemampuan indera manusia. Sesuatu itu benar ada kalau dapat diverifikasi indera manusia. Prinsip ini mengabaikan kemampuan menganalisis melalui penyimpulan. Misalnya dua ditambah dua sama dengan empat (2+2=4) itu benar, walaupun tidak bisa diverifikasi secara inderawi. Di sini kemampuan intuitif diandalkan. Dalam matematika kebenaran intuitif tetap bermakna walaupun tidak dapat diverifikasi secara empiris. Namun kritik Ayer ini tetap perlu mendapat perhatian, karena orang bisa saja menggunakan intuisi sebagai tameng untuk berlindung ketika pendapatnya dihujani kritik.

Selain itu prinsip verifikasi juga harus memperhatikan soal probabilitas dalam penyimpulan induktif. Adanya pengakuan terhadap probabilitas dalam penyimpulan-penyimpulan induktif menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah itu menjadi kebenaran bukan karena berhasil diverifikasi melainkan tidak terfalsifikasi. Kebenaran bukannya terbukti benar, melainkan terbukti belum pernah salah. Artinya tetap terbuka bagi sebuah kebenaran ilmiah untuk difalsifikasi. Kebenaran itu tidak final, maka tidak bisa diverifikasi. Karenanya pengujian sebuah teori ilmiah sesungguhnya bukan untuk sampai pada terbukti benar (verifikasi) melainkan terbukti belum ada salahnya. Artinya masih terus terbuka terhadap pengujian, bukan melalui verifikasi melainkan falsifikasi.

Selanjutnya prinsip verifikasi adalah tuntutan yang berujung pada menyerang dirinya sendiri sebagai pernyataan yang tidak bermakna. Pernyataan bahwa “hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empirislah yang bermakna” tergolong dalam pernyataan tak bermakna karena tidak bisa diverifikasi secara empiris. Kebenarannya hanya dapat diakui secara intuitif. Bahkan verifikasi sendiri sebagai prinsip untuk membuktikan sebuah kebenaran sudah dikritik oleh Karl Popper yang menjadi kritikus Lingkaran Wiena.

Etika emotif ini kemudian dilanjutkan oleh C. L. Stevenson dengan membedakan antara pandangan (belief) dan sikap (attitudes). Menyangkut pandangan, orang bisa berdiskusi dan beradu argumentasi secara rasional. Kalau tidak ada kesepakatan maka harus diserahkan pada setiap orang untuk mengambil sikap. Soal sikap tidak bisa dikatakan benar atau salah; dan harus diserahkan kepada setiap orang, karena tidak dapat dipecahkan secara rasional. Dalam sikap tidak ada makna informatif untuk menentukan benar atau salah melainkan hanya arti emotif untuk menyatakan perasaan. Perasaan itu diungkapkan, bukan memberi informasi. Ungkapan perasaan itu bisa juga untuk mempengaruhi sikap pihak lawan bicara. Pandangan ini ditolak R. M. Harexxi yang berpendapat bahwa penilaian moral itu bukan untuk mempengaruhi (influence) melainkan untuk membimbing (guidance), memberi resep dan pedoman untuk bertindak. Perasaan saja tidak bisa berfungsi sebagai pedoman.xxii

Kelemahan dari argumentasi etika emotif adalah bahwa penilaian moral hanyalah sekadar penyampaian perasaan dan tidak mengandung unsur klaim. Pada hal hakikat penilaian moral adalah klaim akan kebenaran sikap moral sehingga menjadi pedoman bagi perilaku moral. Karena klaim kebenaran itulah orang berdebat. Kesimpulan etika emotif bahwa penilaian moral tidak ada dan hanya merupakan ungkapan perasaan, tidak menyelesaikan masalah. Tetap harus diupayakan adanya penilaian moral karena itu yang dibutuhkan sebagai pedoman dalam membangun kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama dalam bermasyarakat. Namun upaya ini dianggap tidak mungkin karena menurut etika emotif penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan yang tidak mengikat. Karena pada tingkat perasaan orang tidak bisa membuat penilaian maka perlu dilibatkan aspek rasionalitas untuk sampai pada keputusan moral. Tetapi penilaian rasional juga tidak serta merta seperti apa, juga tidak ada patokan yang jelas. Bahkan keputusan juga tidak lebih menjamin kualitas sebuah penilaian moral. Penilaian moral seharusnya benar bukan karena diputuskan benar, juga bukan karena dirasa benar, melainkan memang dari dirinya sendiri benar.

5. PENUTUP

Mungkin pendapat etika emotif bahwa tidak ada penilaian moral, kurang disepakati. Penilaian moral sesungguhnya dibutuhkan untuk menyikapi perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah. Bahkan sudah dianggap sebagai semacam intuisi yang memandu. Namun sekurang-kurangnya etika emotif telah mengingatkan kita untuk tidak sekadar menggunakan intuisi dalam menentukan tindakan moral, melainkan juga melapisinya dengan argumentasi faktual. Kita perlu membangun sikap etis tidak hanya berdasarkan prinsip dan panduan yang bersifat niscaya dan serta merta, melainkan juga melalui prinsip dan panduan yang dibangun di atas argumentasi. Etika emotif berpesan bahwa proses berargumentasi adalah hal penting dalam berbagai keputusan termasuk keputusan moral. Argumentasi akan membuat setiap keputusan termasuk keputusan moral menjadi tertanggung jawabkan. Sesuatu yang baik itu tidak didapatkan karena terkondisikan saja melainkan melalui ruang argumentasi yang penuh tanggung jawab.

Akal sehat sering kali disebut juga sebagai sarana penting dalam membangun hidup bersama yang harmonis. Argumentasi membutuhkan sikap kritis, yang mengandaikan adanya penghargaan terhadap akal sehat. Seruan-seruan dan himbauan tanpa henti untuk menggunakan akal sehat, sesungguhnya mengindikasikan bahwa banyak praktik penilaian moral kita tidak cukup mengandalkan aspek akal sehat dan sikap kritis, sebagai perwujudan dari kebebasan dan tanggung jawab.

Dengan demikian, kalau Ayer berpendapat bahwa penilaian moral itu tidak ada, karena hanya merupakan ungkapan perasaan saja (emotif), dalam masyarakat justru ada praktik penilaian moral bahkan perasaan justru sering menjadi landasan bagi penilaian moral; hal yang tidak dimaksudkan oleh etika emotif. Sikap dan perilaku moral tak kritis, sekadar ikut gerbong (ramai), mudahnya orang melancarkan provokasi dengan argumentasi-argumentasi yang lebih menggosok emosi daripada akal sehat; pembelaan yang membabi buta; melihat persoalan hanya dengan kaca mata kuda; semuanya mengindikasikan adanya aroma yang dikritik etika emotif. Dengan kata lain, kalau etika emotif itu menunjukkan bahwa penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan saja, karena tidak berlaku sebagai landasan etis bersama, yang sering dipraktikkan adalah kecenderungan menggunakan aspek emotif sebagai upaya untuk melakukan penilaian moral. Dengan kata lain kalau menurut etika emotif penilaian moral itu hanya ungkapan perasaan, tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia, dalam praktik justru digunakan untuk membuat penilaian moral, dan cenderung diuniversalkan.

Kecenderungan menetapkan prinsip moral pada perasaan saja, tidak hanya terjadi pada pengukuhan penilaian moral melainkan juga pada pendidikan moral. Pendidikan moral hanya dilakukan dengan mengasah perasaan tanpa landasan pertimbangan-pertimbangan argumentatif yang berakar pada penalaran akal sehat. Penilaian etika sering lebih mengandalkan rasa jijik terhadap yang kotor, mengobralkan rasa ngeri dan takut pada dosa dan hukuman.

Proses berargumentasi pada etika emotif adalah hal penting dalam berbagai keputusan termasuk keputusan moral. Argumentasi akan membuat setiap keputusan termasuk keputusan moral menjadi tertanggung jawabkan. Sesuatu yang baik tidak didapatkan karena terkondisikan melainkan digodog melalui ruang argumentatif yang penuh tanggung jawab. Dengan demikian kita bisa menghadapi pertanyaan klasik Socrates, apa sesungguhnya yang menentukan satu perbuatan sebagai baik atau buruk? Jawabnya adalah argumentasi menggunakan akal sehat yang penuh tanggung jawab. Bahkan konsep perbuatan baik mendapatkan imbalan surga, buruk mendapatkan hukuman neraka terkesan berkonotasi pada apa yang dikritik oleh etika emotif. Suatu perbuatan itu dianggap baik karena Tuhan menyukainya, memujinya; buruk karena Tuhan tidak menyukainya, membencinya, merasa jijik, jorok, dan sebagainya. Sering ada anggapan bahwa sesuatu yang baik adalah sesuatu yang menyenangkan, dan buruk karena menjijikkan atau tidak menyenangkan. Sikap terhadap LGBT memberi kesan ini, bahwa penilaian negatif terhadap kelompok ini lebih disebabkan karena perasaan jijik dari pihak heteroseksual, bahkan sebelum ada tindakan seksual apa pun. Apa yang disukai, mudah menjadi biasa, dan dinilai sebagai benar, dan apa yang tidak disukai menjadi terbiasa tak disukai lalu menjadi salah.

Akhirnya etika emotif juga mengingatkan kita untuk membuat penilaian juga dengan pempertimbangkan fakta, bukan hanya prinsip. Dengan model penilaian yang mengandalkan prinsip, orang mudah didiskreditkan bukan atas perbuatannya melainkan atas pelanggaran prinsip moral. Penilaian moral cenderung menjauhkan diri dari fakta-fakta yang melingkupi prinsip moral. Penilaian moral cenderung normatif ketimbang deskriptif. Perbuatan atau kesalahan orang lebih dilihat sebagai melanggar prinsip daripada upaya untuk memperbaiki diri. Mungkin argumentasi etika emotif sudah dipatahkan dengan berbagai argumentasi, tetapi mengenali etika emotif menyadarkan kita untuk senantiasa menguji secara kritis penilaian moral yang kita anut.

i Thiroux, Jacques & Krasemann, Keith, W. 2014. Ethics: Theory and Practices. (11th/e) Edinburgh Gate Harlow Essex: Pearson Education Limited, hlm. 32-64.

ii Magnis-Suseno, Franz. 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 58-59.

iii James Rachels. 2003. The Elements of Moral Philosophy (4th/e), New York, McGraw-Hill: hlm. 33-34

iv James Rachels, op. cit. hlm. 34

v James Rachels 1995. The Elements of Moral Philosophy (2nd/e), New York: McGraw-Hills, bab 3: Subjektivism in Ethics, hlm. 34-35

vi Magnis-Suseno, Franz. op. cit. hlm 52-53

vii Magnis-Suseno, Franz. 2000. Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 51.

viii Ayer, A. Y. opcit. hlm. 75. Magnis-Suseno Franz. op.cit. 57-58. Osarobu, Philip, I. “The Ethics of Ayer’s Emotivism in a Possible Moral World”, in Ekpoma Review.Vol 1, No. 7 (2020), hlm. 144-145

ix Ayer, A. J. op. cit. hlm. 75.

x Ayer, A. J. op. cit. hlm. 76.

xi Ayer, A. J. op. cit, hlm. 76

xii Ibidem.

xiii Ayer, A. J. op.cit, hlm. 77

xiv Ayer, A. J. op.cit, hlm. 78

xv Ayer, A. J. op.cit, hlm. 79

 

xvi Ayer, A. J. op.cit, hlm. 79

xvii Magnis- Suseno, Franz, op.cit. hlm. 58-59.

xviii Positif dan negatif dalam arti dan konteks fakta logika pun tidak selalu berkaitan dengan baik dan buruk. Positiif bisa saja berarti baik, bisa juga buruk. Begitu juga negatif. Seorang yang ingin memeriksa apakah dia menderita penyakit demam berdarah, ssangat mengharapkan hasil yang negatif. Hasil negatif itu yang baik, sementara hasil positif justru buruk.

xix Magnis- Suseno Franz. op.cit. hlm 61

xx Magnis-Suseno, Franz. op.cit. hlm. 62

xxi Magnis-Suseno Franz, op. cit. hlm 67.

xxii Di Indonesia kita mengenal pepatah pikir itu pelita hati. Artinya pikiran, akal budi itu hendaknya menjadi pelita, penerang bagi hati yang cenderung mengutamakan keinginan nafsu yang sering tak terkendali.

DAFTAR PUSTAKA

Ayer, Alfred Jules, (1952), Language, Truth and Logic, New York. Davin PublicationsInc.

Ayer, Alfred Jules, (1982), Philosopy in the Twentieth Century. London: Unwin Paperbacks.

Frost, JR. S. E, (1962), Basic Teaching of the Great Philosphers.New York: Dobleday.

Gardner, Roy et al, (2005), Education for Values: Morals, Ethics and Citizenship in
Contemporary Teaching.
London: Taylor & Francis e-Library

Gensler, Harry J, (2011), Ethics: A Contemporary Introduction, 2nd/e. New York: Routledge.

Johnston, Paul. (2003). The Contradictions Of Modern Moral Philosophy, New York: Routledge.

Magnis-Suseno, Franz, (2000), 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Mc Kinnon, Barbara, (2012), Ethics: Theory and Contemporary Issues. 9/e . Belmont: Wadsworth.

Osarobu, Philip, I. “The Ethics of Ayer’s Emotivism in a Possible Moral World”, in Ekpoma Review.Vol 1, No. 7 (2020).

Oya, Alberto, (2019), Classical Emotivism: Charles L. Stevenson, Bajo Palabra: Universidade NOVA de Lisboa.

Rachels, James, (2003), The Elements of Moral Philosophy. New York: McGraw-Hills

Thiroux, Jacques & Krasemann, Keith, W, (2014), Ethics: Theory and Practices. (11th/e) Edinburgh Gate Harlow Essex: Pearson Education Limited.

Catatan: Artikel ini sudah terbit di Respons, Jurnal Etika sosial Vol. 26 No. 01 Juli 2021

WAJAH DALAM BAHASA KEDANG

Wajah atau muka dalam bahasa Kedang adalah ning mato. Terjemahan harafiahnya hidung mata. Mengapa wajah disebut sebagai hidung mata? Pada hal di wajah ada mulut juga. Mengapa mulut tidak termasuk? Apakah mulut tidak merepresentasikan wajah?

Mulut dalam bahasa Kedang adalah nunu, pasangan katanya adalah wowo, maka menjadi nunu wowo. Dua kata itu sebenarnya berarti mulut, tetapi nunu lebih merepresentasikan mulut sebagai indera untuk makan sedangkan wowo itu lebih berkonotasi pada mulut sebagai indera berbicara, bercakap-cakap. Wowo rai dalam bahasa Kedang artinya banyak bicara.

Hidung dan mata (ning mato) lebih jujur daripada mulut. Mata dan hidung tidak dapat berbohong, tetapi mulut dapat berbohong, apa lagi di dalamnya ada lidah. yang bahasa Kedangnya >ebel, mempunyai akar kata yang sama dengan bel, atau beloq, yang berarti memotong, menyembelih dalam arti membunuh. Bahasa Kedang sudah mengisaratkan bahwa lidah (>ebel) itu tajam dan bisa seperti pisau atau golok yang berpotensi untuk menyayat, memotong, atau menyembeli. Dan lidah itu ada dalam mulut. Mungkin karena itu mulut sepertinya kurang pantas untuk merepresentasikan wajah.

Ungkapan bahwa mata adalah jendela hati, justru terungkap dalam konsep bahasa Kedang tentang wajah. Hidung mancung menampilkan wajah yang anggun dan lapang, hidung yang pesek dan besar menampilkan wajah yang keras dan tangguh. Mata yang bening dan sejuk merepresentasikan hati yang damai dan tenang; mata yang merah merepresentasikan wajah yang garang, penuh dendam dan amarah. Mata yang sayu menggambarkan kepasrahan dan kepercayaan, sikap memohon, dan minta perlindungan.

Kerinduan untuk berjumpa adalah kerinduan untuk bertemu hidung dan mata (ning mato). Perjumpaan yang real adalah perjumpaan hidung dan mata. Mulut bisa mempertemukan orang dalam jarak yang jauh, melalui teriakan atau pemanggilan, tetapi itu tidak disebut perjumpaan, karena tidak saling melihat hidung dan mata.

Sekarang orang bisa berjumpa secara virtual melalui video call, zoom, google meet, Ms Teams atau berbagai sarana lain. Tetapi perlu diingat juga bahwa berjumpa dalam bahasa Kedang artinya haraq, yang juga berarti sisi (bagian rusuk), bisa juga berarti hari (haraq leme, lima hari). Artinya bahwa perjumpaan hidung mata itu itu harus di dunia nyata, di saat di mana kita bisa berada satu di samping yang lain (berdampingan). Dan itu tetap tidak bisa terjadi secara virtual.

SELAMAT NATAL, MARI MULAI BARU

Bicara Natal, saya teringat akan natalitasnya Hannah Arendt. Dia mengingatkan bahwa efek dari suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang, akan terus membuat riak yang tak akan berhenti. Riak itu hanya bisa berhenti ketika sang korban secara ksatria memberikan pengampunan. Pengampunan telah melahirkan satu awal baru yang menghentikan seluruh rangkaian dendam dan kebencian yang cenderung bergelung tanpa akhir.

Kebanyakan kita bertindak lebih atas dasar prinsip reaksi terpola, sebagai kesetiaan kita pada sebuah rantai sistemik, ketimbang sebuah aksi kreatif yang mengorak rantai dendam sistemik tersebut. Tindakan dan perilaku kita cenderung terkungkung dalam interaksi dendam kesumat reaktif yang menggelora daripada terlapangkan oleh aksi pengampunan yang dahsyat . Ketika aku ditampar, maka tindakanku sudah bisa diprediksi, lantaran jelas tersemat dalam sistem baku: balas. Itulah reaksi perangkai dendam tujuh turunan. Tetapi ketika aku memutuskan untuk tidak membalas, melainkan mengampuni, itulah epifani natalitas. Kelahiran baru, awal baru, akan serta merta terwujud. Maka natalitas adalah kemerdekaan sang pemberani, bukan kekonyolan tak berdaya seorang pengecut.

Natal adalah kelahiran sang pengampun, yang mengajarkan kasih yang merdeka, dengan tindakan yang aktif dan bukan reaktif; kelahiran sang Dia yang menyerukan: “Ketika pipi kirimu ditampar, pasang lagi pipi kananmu”. Natal, adalah kelahiran. Natal adalah pengampunan. Dalam pengampunan ada rasa bebas, plong, lepas dari beban yang menindih, dan hidup baru pun dimulai. Karena itu Natal, kelahiran baru, adalah pembebasan bagi semua pihak. Natal menyadarkan bahwa kita bukan manusia sempurna yang tak pernah terjamah oleh kesalahan dan dosa. Natal mewartakan bahwa sebagai manusia berdosa kita tak bisa hidup tanpa pengampunan.  Natal melantunkan nada dan syair pengampunan yang membawa damai. Natalitas, pengampunan, damai, itulah yang menghantar kita menuju kemuliaan di surga. (Baca juga: “Narasi Natal:  Kemuliaan di Surga, Damai di Bumi” di blog ini).

SALAM DAMAI NATAL, MARI MULAI BARU