“ORANG” DALAM BAHASA KEDANG

Orang baik

Orang baik

Istilah bahasa Kedang untuk manusia atau orang adalah atediqen. Terjemahan harafiahnya adalah ate artinya orang dan diqen artinya baik. Jadi atediqen sebenarnya berarti orang baik. Sepertinya tersirat di sini konsep tentang “manusia” dalam bahasa Kedang, bahwa manusia itu pada dasarnya baik, bersahabat, tidak jahat, dan tidak bermusuhan. Maka konsep “orang” dalam pemikiran bahasa Kedang tidak sepenuhnya sejalan dengan homo homini lupus-nya (manusia adalah serigala bagi manusia lain) Thomas Hobbes, dan karenanya diperlukan Leviathan untuk mengaturnya. Juga tidak benar-benar sejalan dengan Jean-Jacques Rousseau yang menganggap bahwa manusia itu pada mulanya netral, tidak bisa dikatakan baik atau jahat, tidak egois dan juga tidak altruis. Dia baru menjadi egois atau altruis setelah dibentuk oleh sentuhan peradaban. Jadi kejahatan manusia itu bukan bawaan sejak lahir melainkan hasil sentuhan peradaban. Bertolak belakang dengan konsep Hobbes, tampak bahwa konsep manusia dalam bahasa Kedang ini lebih dekat pada homo homini socius-nya (manusia adalah teman bagi manusia lain) Driyarkara.

Kata diqen (baik) di sini juga menggambarkan kelembutan, sikap bersahabat, ramah, baik hati, gentle. Ini lebih terasa ketika kata ini diberi bentuk superlatifnya, menjadi diqen herun. Kata herun itu sepertinya bersemenda dengan kata yang berakar sama yakni werun (baru), eru(n) (manis), atau erung (bersahabat). Maka orang baik di sini adalah orang yang lembut hati, ramah, bersahabat, suka mengampuni (mulai baru [werun]).

Bahasa Kedang mengistilahkan orang jahat dengan kata atediqen daten (orang baik yang jahat). Sepertinya terbaca dalam konsep ini bahwa perbuatan (yang jahat) itu tidak serta merta membuat seseorang menjadi orang jahat. Dia tetap orang, atediqen (orang baik), yang melakukan perbuatan jahat. Artinya perbuatan tidak membuat seseorang menjadi orang jahat, melainkan membuat orang baik menjadi tercoreng oleh kejahatan. Maka kecorengannya itu yang harus dihapus, supaya dia dipulihkan kembali menjadi orang (baik). Yang melekat pada manusia dan menjadi kodrat manusia adalah kebaikan sedangkan keburukan itu tidak melekat, karenanya bisa ditanggalkan atau dicabut (disembedded).

Pelepasan atau pembebasan dari kecorengan itu harus dilakukan dengan hukuman (punishment). Punishment itu bisa dilakukan dengan denda dan upacara pengurbanan hewan (ayam) sebagai pengganti. Di sini ada semacam konsep penebusan. Misalnya ayam menjadi korban untuk menggantikan orang yang seharusnya dihukum karena kejahatannya (komutatif), disertai denda dalam bentuk gading atau gong (retributif). Orang tidak perlu dihukum sendiri, melainkan digantikan oleh hewan sebagai korban. Artinya kejahatan itu setara dengan hewan, dan bukan manusia. Maka hewannya yang boleh dikorbankan dan manusianya kembali ke posisi aslinya (fitra) sebagai atediqen diqen orang (baik) yang baik.

Konsep ini bisa mengajak kita untuk meneliti lebih jauh tentang konsep etika keutamaan dan etika kewajiban yang tersirat dalam bahasa sebagai bagian dari budaya Kedang. Kalau etika keutamaan lebih menekankan orang daripada perbuatannya, sementara etika kewajiban lebih menekankan perbuatan daripada orang, maka budaya Kedang lebih condong ke etika keutamaan. Yang penting adalah atediqen-nya bukan perbuatannya. Orang yang melakukan kejahatan, bahkan orang jahat sekalipun, dalam bahasa Kedang disebut atediqen daten (orang baik yang jahat), bukan ate daten (orang jahat). Walaupun melakukan perbuatan yang jahat, manusia itu tetap orang baik yang perbuatannya salah. Perbuatan yang tidak baik tidak serta merta melepaskan orang dari kemanusiaannya yang pada dasarnya baik.

Kata ate (orang) juga bisa digunakan tanpa diqen, misalnya dalam istilah aterian, yang berarti suami, tetapi harafiahnya istilah ini berarti orang besar. Atau juga dalam menyatakan jumlah: ate pulu artinya sepuluh orang. Ada yang mengatakan bahwa ini sebenarnya hanya soal penyingkatan saja dari rumusan lengkapnya atediqen pulu. Tetapi alasan ini tidak dapat diterapkan dalam aterian, sebagai penyingkatan dari atediqen rian. Karena istilah terakhir ini berbeda dengan kata aterian, karena atediqen rian sebenarnya tidak merujuk pada suami melainkan pada orang yang besar (badannya, atau pangkat/kuasanya/statusnya).

Saya lebih cenderung mengatakan bahwa ate di sini mau merujuk pada ate (orang) yang sudah faktual terpapar dengan peradaban, jadi tidak serta merta diqen (baik lagi), dia bisa menjadi tidak baik. Itu juga terjadi ketika berhitung orang dalam bahasa Kedang. Di sini yang dibutuhkan adalah angkanya, bukan baik atau tidaknya orang.

Atas dasar ini saya condong mengatakan bahwa konsep ini lebih dekat pada Rousseau dengan modifikasi, bahwa manusia pada dasarnya baik, sementara yang tidak baik itu dikenal setelah manusia berpaparan dengan peradaban. Dengan  demikian “orang” dalam bahasa Kedang menyiratkan konsep manusia yang pada dasarnya baik (homo homini socius), tetapi oleh sentuhan peradaban (Rousseau) orang yang pada dasarnya baik itu bisa tercoreng oleh kejahatan (homo homini lupus). Jadi orang itu tetap orang baik, tetapi bisa menjadi jahat setelah berpaparan dengan peradaban (bisa tetap baik, bisa juga menjadi jahat), tetapi kejahatan itu tidak kodrati, maka bisa dilepaskan (disembedded) dari manusia yang pada dasarnya baik untuk kembali menjadi orang baik. Terlihat bahwa yang penting dan dibutuhkan di sini bukannya kekuasaan Leviathan bertangan besi yang melecut dari luar untuk mencegah kejahatan dan mempertobatkan, melainkan gerakan penebusan, pemulihan, pemaafan, pengampunan dari dalam untuk mengembalikan manusia ke posisi aslinya yakni orang baik. Gerakan menjadi orang baik harus bertumbuh secara otentik dari dalam dan bukannya dipaksakan secara represif dari luar. Pertobatan itu tidak bisa dipaksakan, melainkan harus datang dari dalam diri sendiri.

Benyamin Molan

6 thoughts on ““ORANG” DALAM BAHASA KEDANG

  1. Bapak Molan, apakah saya bisa minta alamat email dari Ursula Samely? saya ingin kirim email untuk beliau. Trims rai-rai Amo.

      • Maaf Juli, ini bahasa sms yang hanya dimengerti dengan tepat sesuai konteksnya. Kata “ode” itu bisa berarti aduh (seruan), bisa juga artinya menggoda atau merayu. Ini hanya bissa jelas kalau diucapkan secara lisan atau memperhatikan konteksnya. “w” itu tidak jelas singkatan dari apa, mungkin “weq lohung” artinya tubuh molek. “Lohung” itu bisa berarti cantik,menarik, molek, ayu (wanita), bisa juga berarti lempeng, simpel, tidak ribet (benda/sikap). Maka “ode w,lohung” bsa berarti godain dong cantik, bisa juga berarti aduh moleknya. Yang tau lebih pasti artinya adalah orang yang terlibat dalam konteks percakapan ini.

  2. Terima kasih atas ilmu dan informasinya, Amo. terima kasih banyak, kiranya kumpulan tulisan ini dapat dijadikan sebuah referensi yg baik bila di publikasikan dalam jurnal atau bahkan buku. sekiranya tidak sulit, mungkin kita dapat berkolaborasi untuk membangun leu awu edang…. ya beginilah ete terima kasih nore leu awu… Terima kasih banyak

    • Terima kasih amo Hamza. Bahasa Kedang itu kaya sekali dengan nilai dan kearifan yang sangat menghargai martabat manusia. Nilai dan kearfian ini sudah lama menjadi panduan bagi banyak generasi orang Kedang dalam menata hidup bersama mereka. Kita harus menggalinya. Jika tidak maka kekayaan itu akan hilang. Mata kita akhirnya bisa terbuka, melihat betapa hebatnya leluhur kita menciptakan sebuah bahasa unik yang telah bertahun-tahun berfungsi bagi kita dalam mengembangkan kemampuan awal kita berbahasa. berkomunikasi, dan berinteraksi, sampai kita menjadi seperti sekarang ini. Mudah-mudahan satu saat tulisan-tulisan ini bisa dihimpun dalam sebuah buku. Salam.

Leave a reply to molansio Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.