NT4: NTT TOLAK TAMBANG!

Beberapa hari ini di Jakarta sedang beredar pesan singkat yang isinya mengajak orang NTT untuk menolak tambang. Aksi NTT Tolak Tambang (NT4) akan digelar oleh Komunitas Seniman NTT se-Jabodetabek, yang sedianya akan berlangsung hari Minggu, 11 Maret 20012 di Marsudi Rini Hall, Matraman, Jakarta.

Memang ada gejala yang mencolok akhir-akhir ini bahwa NTT sedang tersapu demam tambang. Wabah tambang seolah-olah melanda Flores, Sumba, Timor, Lembata dan Alor. Pertanyaan yang langsung menggelitik adalah mengapa? Mungkin jawabannya sederhana. NTT yang sering dipelesetkan menjadi Nasib Tak Tentu atau Nanti Tuhan Tolong, memang dikenal sebagai daerah miskin. Tetapi  sebenarnyaNTT  menyimpan potensi harta karun yang masih terpendam. Penguasa daerah, yang kebingungan mencari sumber pedapatan daerah, seperti mendapat durian runtuh ketika ada pihak yang menawarkan diri untuk menggali harta terpendam itu.  Pantas kalau program tambang langsung menjadi primadona, dan dianggap sebagai upaya yang paling bisa diandalkan untuk mengubah potensi terpendam ini menjadi aktus, dan menyelamatkan rakyat NTT dari lembah kemiskinan. Pertanyaan selanjutnya adalah “apa bisa?”

Para penguasa dan pengusaha tambang pasti optimis menjawab: bisa. Bahkan macam-macam cara dan argumentasi telah dilancarkan untuk memuluskan program ini. Batu-batu NTT malah dianggap sebagai potensi-potensi yang harus diubah menjadi roti. Pada hal dalam konteks yang menjadi sumber kutipan ini, perubahan batu menjadi roti justru tidak terjadi. Ironisnya lagi, orang NTT dianalogikan sebagai bangsa Israel yang sedang melewati padang gurun menuju tanah terjanji. Pantas penguasa dan pengusaha tambang memanfaatkan kondisi ini untuk meresponsnya dengan warta mesianisme, dan memposisikan dirinya tepat sebagai mesias yang datang menyelamatkan rakyat NTT. Ini merupakan trik pemasaran yang sangat tepat sasaran, dan mendapatkan tempat yang mulia di haribaan konsep neo-kapitalis, yang telah mencerabutkan ekonomi dari relasi sosial (Karl Polanyi, 2001).

Sebenarnya menghubungkan pertambangan dengan aspek religius itu bukan hal baru. Mircea Eliade (1978) yang mengembangkan survei tentang latar belakang historis dari alkimia, berpendapat bahwa dalam sejarah dan tradisi banyak budaya, kegiatan pertambangan berhubungan dengan agama yang didevosikan pada dewi bumi.  Bumi dianggap rahim generatif, tempat semua yang keluar ingin kembali. Mineral adalah embrio yang bertumbuh dalam rahim. Para penambang adalah dukun yang menjaga janin dan membantu proses kelahiran. Maka pertambangan (khususnya emas) yang terlalu dini dianggap aborsi. Tetapi konteksnya jelas, bukan untuk mendukung pertambangan melainkan untuk menjaga kelestarian bumi dan alam dari kerusakan karena tambang.

Output dan Outcome

Dalam teorinya tentang proses pemecahan masalah, Roger Kaufman (1982) membedakan antara output dan outcome, dan menunjukkan bahwa output itu tidak selalu berkaitan langsung dengan outcome. Dalam hal ini, barang tambang yang mau digali adalah emas, tembaga, mangan dan lain-lain, maka output yang dihasilkan tentu saja adalah hasil tambang. Hasil-hasil tambang yang merupakan komoditi yang sangat berharga ini, pasti sangat bernilai jual untuk kepentingan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat. Logika sederhana dan mudah ditangkap ini tentu saja cepat difungsikan untuk menimbulkan efek silau.

Tetapi yang lebih penting untuk diperhatikan adalah outcome. Apakah outputnya memang menghasilkan outcome? Apakah hasil-hasil tambang itu akan membawa kesejahteraan? Ini yang memerlukan kajian yang lebih serius dan penuh tanggung jawab. Yang selama ini disosialisikan untuk mengambil hati hanyalah outcome jangka pendek, bahwa rakyat sekitarnya akan ikut disejahterakan dengan terbukanya lapangan kerja ketika usaha tambang itu berjalan. Kaum pria bisa mendapatkan pekerjaan di pertambangan. Ibu-ibu bisa membuka warung, berdagang nasi uduk, indomi, nasi goreng, dan sebagainya. Jangan kita hanya terpesona dan terperangah dengan outcome yang didapatkan saat kegiatan tambang itu ada dan lupa memperhatikan outcome utamanya. Jangan sampai ujung-ujungnya nanti adalah melenggang-perginya output bersama dengan outcomenya. Lalu rakyat tinggal gigit jari dan mengais rejeki di atas tailing-tailing yang berserakan.

Ini juga yang diingatkan oleh Ivan Illich ketika dia mengeritik praktik pelembagaan nilai. Betapa latahnya kita melembagakan nilai kesehatan, misalnya, dalam pendirian rumah sakit;  pendidikan dalam sekolah; keselamatan dalam agama; keamanan dalam polisi dan militer; keadilan dalam hukum,  kesejahteraan dalam pembangunan. Ini sebenarnya setali tiga uang dengan terlalu mudahnya kita mengaitkan antara output dan outcome. Bahwa pertambangan menghasilkan emas (output) itu tidak bisa diingkari. Tetapi pertanyaan yang sangat serius dan perlu dikaji adalah bahwa apakah emas (output) akan menghasilkan kesejahteraan (outcome)? Ini tidak otomatis.  Justru ini yang menjadi persoalan paling serius di negeri ini. Dan ini adalah tugas pemerintah.  Pengusaha hanya bertanggung jawab sampai batas output, sementara outcome adalah urusan pemerintah.

Pengalaman raja Midas dalam mitologi Yunani bisa menjadi pelajaran berharga bahwa output tidak otomatis menjadi outcome. Sang raja yang mendapatkan anugerah istimewa ini ternyata tidak menemukan kebahagiaan di sana. Rumah yang disentuhnya memang menjadi emas, tetapi isteri dalam pelukannya pun ternyata menjadi emas. Ironisnya lagi saat lapar dan ingin makan, semua makanan yang disentuhnya menjadi emas. Akhirnya sang raja meminta dewa menarik kembali anugerah itu. Sesuatu yang kita anggap anugerah dan berkah malah bisa menjadi tulah dan kutuk, kalau tidak dipertimbangkan dengan baik dan serius. Artinya pertimbangannya jangan hanya menyangkut satu aspek saja (kepentingan jangka pendek), melainkan juga menyangkut berbagai aspek, termasuk aspek jangka panjang;  dalam hal ini kepentingan anak-anak kita dan generasi mendatang.

Mental Instan

Apakah kita di NTT tidak punya anugerah lain daripada batu-batu dengan kandungan tambang dan mineral ini? Mengapa kita enggan melirik anugerah lain itu dan tetap bersikukuh menjalankan program vulgar ini? Masalahnya adalah bagaimana kita bisa melihat alternatif  lain kalau kita begitu terpukau, dan seluruh perhatian kita tercurahkan sepenuhnya hanya pada program tambang?

Sudah sering dibanggakan bahwa kita punya wilayah lautan yang luas, wisata alam yang indah, serta tanah yang cocok untuk usaha-usaha tertentu. Mengapa itu semua hanya sebatas kebanggaan, dan tidak dikelola secara serius untuk menghasilkan emas dan tembaga yang lebih manusiawi? Padahal ini adalah alternatif yang lebih ramah lingkungan dan merupakan sumber daya yang tak habis dikeruk, dibanding program tambang yang vulgar, berpotensi merusak dan habis dikeruk? Masalahnya adalah kita tidak pernah serius dan profesional dalam mengelolanya. Kalau diperhatikan secara cermat, soal tambang sebenarnya tidak terletak pada tambangnya melainkan pada masalah mental kita yang ingin serba instan. Kita tidak mau menunggu dan bekerja tekun secara profesional. Kita hanya ingin melihat hasil dan tak mau sabar dalam membangun prosesnya.  Dan hasil itu pun dalam bentuk output dan bukan outcome. Padahal tujuan kita bukan sekadar output (emas berlimpah) melainkan outcome (masyarakat sejahtera).

Selain itu, konsep pembangunan kita pun masih konsep piramide kurban zaman kolonial. Pada hal pembangunan yang  etis dan manusiawi adalah pembangunan yang  tidak mengorbankan alam dan manusianya, karena manusia dan lingkungannya adalah tujuan pembangunan itu sendiri. Pembangunan tidak boleh dilakukan demi kemegahan pembangunan itu sendiri. Sukses tidaknya pembangunan sebenarnya tidak diukur dari banyaknya prasarana yang bagus, gedung-gedung bertingkat yang tinggi menjulang (output), melainkan dari sejahtera tidaknya rakyat (outcome).

Serius dan Tekun

Kalau kita mampu berkaca dengan baik, tampak bahwa masalah kita di NTT adalah masalah keseriusan dan ketekunan, dan bukan pada pilihan program. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan serius dan tekun. Contoh soalnya adalah program pariwisata. Pariwisata adalah potensi yang tak pernah ditekuni secara serius. Padahal pariwisata bisa dijadikan program paket regional NTT yang dikelola secara fokus dan terpadu, bersama seluruh kabupatennya.  Obyek wisata di NTT sebenarnya tidak kalah menarik dibanding obyek wisata di kabupaten lain bahkan belahan dunia lainnya. Kita punya Komodo dan Kelimutu yang sudah terkenal. Ada kota Ende sebagai tempat wisata sejarah; Larantuka sebagai tempat wisata religius; Lamalera Lembata sebagai tempat wisata budaya. Selain itu NTT kaya dengan pantai yang bersih, sangat indah, dengan pasir yang benar-benar putih, dan laut yang nyaman dan indah untuk dilayari. Airnya bening dan biru, bukan coklat dan berselimutkan sampah. Dan yang tak kalah menarik adalah atraksi-atraksi adat dan seni budaya yang bisa dikemas dengan baik untuk konsumsi pariwisata; dan masih banyak lagi.

Tetapi program pariwisata hanya dijadikan program alternatif dan dikelola secara fragmentaris. Sepertinya yang diperhatikan cuma satu aspek saja dari pariwisata yakni obyek wisata. Padahal pariwisata selalu digandeng dengan hospitality, keramahan-tamahan, keterbukaan, kesantunan, dan kesediaan untuk menjamu. Maka pariwisata bukan hanya masalah obyek wisata melainkan juga masalah subyek. Artinya ketika berbicara tentang pariwisata, kita tidak hanya berbicara dan berkutat dengan obyek wisata, dalam arti apa yang patut kita jual, melainkan kita juga berbicara tentang bagaimana mental hospitality kita. Obyek itu menyangkut sesuatu yang dijual, sedangkan subyek wisata menyangkut lingkungan dan kemasannya. Keamanan, kenyamanan, transportasi, akomodasi, semuanya tidak bisa lepas dari pariwisata. Kotler dalam Marketing for Hospitality and Tourism menulis: “Dua industri penting yang mencakup kegiatan yang kita sebut turisme adalah industri perhotelan dan perjalanan.” Harus diakui,  kita masih jauh dari konsep ini. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa mulai, dan kemudian menekuninya secara serius dan profesional.

Lagi pula, semua kegiatan pembangunan termasuk pembangunan pariwisata tidak bisa lepas dari landasan prasarana dan infrastruktur. Membangun hotel harus ditunjang dengan transportasi yang baik dan akomodasi yang nyaman. Wisatawan itu ingin mendapatkan kenyamanan. Yang dijual dalam usaha pariwisata adalah kenyamanan. Para turis ingin mendapatkan sesuatu yang baru, tetapi mereka sebenarnya juga ingin tetap menikmati situasi mereka, di tempat yang baru. Ibaratnya mereka ingin pergi membawa serta rumah mereka. Mereka ingin menikmati pengalaman baru, tetapi dengan kenyamanan yang sama, alias tidak ingin mengorbankan kenyamanan. Memang ada juga yang mau mengorbankan kenyamanan untuk mendapatkan sesuatu yang baru, tetapi turis tipe ini tidak banyak dan lebih berciri petualang. Para turis avonturir semacam ini akan menemukan jalannya sendiri. Yang perlu kita perhatikan adalah wisatawan yang menginginkan kenyamanan. Kita buat mereka berlama-lama tinggal di tempat kita. Makin lama mereka tinggal makin baik. Dengan kata lain kita harus mampu membuat mereka merasa krasan atau rasa at home.

Membangun pariwisata adalah membangun rumah bagi para turis, dan bukan sekadar menjual obyek wisata. Maka seperti halnya perusahaan jasa lainnya yang berorientasi pada pelanggan, usaha pariwisata adalah usaha yang juga harus berorientasi pada pelanggan, yang dalam hal ini adalah wisatawan, dan bukan pada obyek wisata. Tujuan kita tidak sekadar membangun obyek wisata yang bagus melainkan juga mendatangkan kenyamanan bagi para wisatawan untuk datang dan tinggal. Obyek wisata yang bagus harus ditunjang dengan rasa nyaman untuk menikmatinya. Jika tidak, promosi obyek pariwisata justru akan menjadi bumerang. Pengalaman yang jelek yang dialami para turis ketika berkunjung, justru akan menjadi promosi hitam bagi obyek wisata kita. Kabar buruk tentang pengalaman buruk itu akan disampaikan kepada para turis lain, lalu para turis bukannya mau datang tetapi malah enggan datang. Riset pemasaran yang sudah sangat dikenal adalah bahwa bahwa kabar buruk jauh lebih mudah beredar daripada kabar baik.

Dengan demikian, promosi adalah bagian yang penting dalam pariwisata, tetapi harus dilakukan dengan baik. Jangan sampai promosi tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan. Bahkan mutu dan pelayanan jasa yang baik akan dengan sendirinya berfungsi sebagai promosi. Kesan yang baik akan menjadi bagian dari promosi. Cerita para pengunjung yang puas akan menjadi bagian promosi tersendiri yang tidak kalah gencar dibanding iklan.

Tetapi semua ini, sekali lagi, harus dilakukan secara serius, tekun dan profesional kalau kita juga ingin mendapatkan kesejahteraan sebagai outcome. Bagaimana pun juga, tanah kita tetap tanah terjanji, tanpa harus mengubah batu menjadi roti. Apa lagi manusia pun tidak hanya hidup dari roti saja.

Benyamin Molan Amuntoda

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.